Minggu, 22 November 2015

Laporan Pendahuluan CKD

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Prevalensi gagal ginjal kronik menurut United State Renal Data System (USRDDS) pada tahun 2009 adalah sekitar 10-13 % didunia. Dalam Kartika (2013), berdasakan survei dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan prevalensi penyakit gagal ginjal kronik yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30,7 juta penduduk. Menurut data PT Askes, ada sekitar 14,3 juta orang penderita gagal ginjal tahap akhir saat ini menjalani pengobatan yaitu dengan prevalensi 433 perjumlah penduduk, Jumlah ini akan meningkat hingga melebihi 200 juta pada tahun 2025 ( Febrian, 2009 ).
Data yang didapatkan di RSUD Tugurejo Semarang, pada arsip Rekam Medik bulan Januari 2012- Februari 2013 menunjukkan bahwa sebanyak 100.368 pasien yang menjalani rawat jalan diataranya adalah pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa yaitu sebanyak 4901 pasien ( Rekam Medik, 2012).
Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolic tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal ( Yusuf Fikri, 2012 ).
Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus- menerus. Fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan metabolic, dan cairan elektrolit mengalami kegagalan, yang menyebabkan uremia ( Elizabeth, 2009 ).
Menurut kresnawan (2005), Terapi pengganti yang paling banyak dilakukan di Indonesia adalah Hemodialisa. Prosedur Hemodialisa dapat menyebabkan kehilangan zat gizi, seperti protein, sehingga asupan harian protein seharusnya juga ditingkatkan sebagai kompensasi kehilangan protein, yaitu 1,2 g/kg BB ideal/ hari. Lima puluh persen protein hendaknya bernilai biologi tinggi Protein seringkali dibatasi sampai 0,6/ kg/ hari bila GFR turun sampai dibawah 50 ml/ menit untuk memperlambat progresi menuju gagal ginjal Rubenstein, (2005).
Pembatasan protein dilakukan karena terjadinya disfungsi ginjal dengan salah satu cirinya adalah terjadinya uremia. Pada keadaan normal ginjal akan mengeluarkan produk sisa metabolisme protein (ureum) yang berlebihan didalam tubuh dalam bentuk urin namun sebaliknya apabila terjadi kerusakan pada ginjal maka akan terjadi penumpukan ureum didalam darah sehingga ginjal tidak mampu mengeluarkannya dan menjadikannya semakin tinggi (Bastiansyah,2008).
Penderita gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa juga dapat mengalami anemia. Anemia muncul ketika kreatinin turun kirakira 40 ml/ mnt. Anemia akan menjadi lebih berat lagi apabila fungsi ginjal memburuk. pada umumnya anemia pada penderita gagal ginjal kronik disebabkan oleh berkurangnya hemoglobin dalam darah akibat pengambilan darah untuk pemeriksaan laboratorium atau darah yang terperangkap atau tertinggal di alat Hemodialisa sehingga produksi eritroprotein juga berkurang selain itu, asupan pasien yang kurang juga dapat menyebabkan anemia menjadi lebih buruk ( Lewis, 2005 ).
Diet tinggi protein dapat menimbulkan keseimbangan nitrogen positif atau netral, namun kadang-kadang diet tinggi protein dengan nilai biologi rendah menimbulkan keseimbangan nitrogen negatif. Berdasarkan hasil penelitian William, et al., (2004), terdapat hubungan antara asupan energi dan protein yang rendah dengan menurunnya serum kreatinin, albumin, dan berat badan pada sekelompok pasien HD










BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
CRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)

Anatomi Ginjal
Ginjal terletak pada bagian dorsal dari rongga abdominal pada tiap sisi dari aorta  dan vena kava, tepat pada posisi ventral  terhadap beberapa vertebra  lumbal yang  pertama.  Ginjal dikatakan retroperitoneal, artinya terletak di luar rongga peritoneal (Frandson, 1992). Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri karena besarnya lobus hepatis kanan. Secara mikroskopis, sebuah ginjal dengan potongan memanjang memberi dua gambaran dua daerah yang cukup jelas. Daerah perifer/tepi yang beraspek gelap diebut korteks, dan selebihnya yang agak cerah disebut medulla, berbentuk piramid terbalik.  Secara mikroskopis, korteks yang gelap tampak diselang dengan interval tertentu oleh jaringan medulla yang berwarna agak cerah, disebut garis medulla (medullary rays).  Substansi korteks di sekitar garis medulla disebut labirin korteks. Medulla tampak lebih cerah dan tampak adanya jalur-jalur yang disebabkan oleh buluh-buluh kemih yang lurus dan pembuluh darahnya (Hartono, 1992).
Nabib (1987) menjelaskan secara histologi ginjal terdiri atas tiga unsur  utama, yaitu (1). Glomerulus, yakni suatu gulungan pembuluh darah kapiler yang  masuk melalui aferen, (2).  Tubuli sebagai parenkim yang bersama glomerulus membentuk nefron, suatu unit fungsional terkecil dari ginjal, dan (3).Interstisium berikut pembuluh-pembuluh darah, limfe dan syaraf.

Ø  Mikrostrukrur Nefron Ginjal
Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Didalam setiap ginjal terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Setiap nefron terdiri dari  kapsula bowman,  tubulus kontraktus proksimal, lengkung henle dan tubulus kontraktus distal yang mengosongkan diri ke duktus pengumpul. Glomerulus bersama Kapsul Bowman juga disebut badan Malpigi.
Jalinan glomerulus merupakan kapiler-kapiler khusus yang berfungsisebagai penyaring. Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel-sel endotel mempunyai sitoplasma yang sangat tipis, yang mengandung banyak lubang disebut fenestra dengan diameter 500-1000A0.
Setiap korpus  renal berdiameter 200 μm dan  terdiri atas  seberkas kapiler yaitu  glomerulus, dikelilingi oleh kapsul epitel berdinding ganda yang disebut  (Alatas et al., 2002). kapsula Bowman. Lapisan luar membentuk batas luar korpuskulus renal (lamina parietalis)  yang terdiri atas epitel selapis gepeng yang ditunjang lamina basalis dan selapis tipis serat retikulin. Lapisan dalam (lamina visceralis) meliputi kapiler glomerulus yang terdiri dari sel-sel podosit. Pada kutub urinarius dari korpuskulus renal, epitel gepeng dari lapisan parietal kapsula Bowman, berhubungan langsung dengan epitel selindris dari tubulus kontraktus proksimal.  Tubulus ini lebih panjang dari tubulus kontraktus distal dan karenanya tampak lebih banyak dekat korpuskulus renalis dalam labirin korteks.
Lengkung henle  adalah struktur berbentuk U terdiri atas ruas tebal descenden dengan struktur yang sangat mirip tubulus kontraktus proksimal; ruas tipis descenden dan ruas tebal ascenden strukturnya sangat mirip dengan tubulus kontraktus distal. Lebih kurang sepertujuh dari semua nefron terletak dekat batas korteks-medula yang disebut dengan nefronjukstamedula. Nefron lainnya disebut nefron kortikal. Semua nefron turut serta dalam proses filtrasi, absorpsi dan sekresi.
Bila ruas tebal  ascend  lengkung henle menerobos korteks, struktur histologisnya tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok-kelok dan disebut  tubulus kontortus distal, yaitu bagian terakhir nefron yang dilapisi oleh epitel selapis kuboid. Lumen tubulus distal lebih besar dan karena sel-sel tubulus distal lebih gepeng dan lebih kecil dari tubulus proksimal, maka tampak lebih banyak sel dan inti dinding tubulus distal.
Urin mengalir dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens, yang saling bergabung dan membentuk duktus koligens yang lebih besar dan lebih lurus yaitu duktus papilaris Bellii yang berangsur-angsur  melebar sewaktu mendekati puncak piramid. Tubulus koligens yang lebih kecil dilapisi oleh epitel kuboid  dan  berdiameter  kurang  lebih  40μm.  Dalam  medulla,  duktus  kolagens merupakan komponen utama dari mekanisme pemekatan urine (Junquera, 1995).

Ø  Fungsi Ginjal 
Alatas  et al  (2002) menjelaskan fungsi ginjal sebagai organ ekskresi.  Ginjal memilki fungsi utama dalam menjaga keseimbangan internal dengan jalan menjaga komposisi cairan ekstraselular. Untuk melaksakan hal itu sejumlah besar cairan difiltrasi di glomerulus dan kemudian direabsopsi dan disekresi di sepanjang nefron sehingga zat-zat yang berguna diserap kembali dan sisa-sisa metabolisme dikeluarkan sebagai urin, lebih lanjut lagi dijelaskan fungsi ginjal secara keseluruhan, yaitu;
  1. Fungsi Ekskresi
Ginjal dapat berfungsi  untuk sisa metabolisme protein (ureum, kalium, fosfat, sulfur anorganik dan asam urat), regulasi volume cairan tubuh dikarenakan aktivitas anti-duaretik (ADH) yang akan mempengaruhi volume urin yang akan dikeluarkan tubuh dan ginjal yang bermanfaat dalam menjaga keseimbangan asam dan basa.

  1. Fungsi Endokrin
Sebagai fungsi endokrin ginjal memiliki tiga fungsi, yaitu;  1. Memiliki partisipasi dalam eritropoesis yaitu sebagai penghasil zat eritropoetin yang dibutuhkan dalam pembentukan sel darah merah. 2. Pengaturan tekanan darah, hal ini dikarenakan terlepasnya granula rennin dari jukstaglomerulus yang merangsang angiotensinogen di dalam darah menjadi angitensi I kemudian diubah kembali menjadi angiotensi II oleh
enzim konvertase di paru. Hal ini mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan merangsang kelenjar adrenal untuk memperoduksi aldosteron.Kombinasi kedua inilah yang mengakibatkan terjadinya hipertensi. 3. Ginjal bertugas menjaga keseimbangan kalsium dan fosfor dikarenakan ginal mempunyai peranan dalam metabolism vitamin D.
Dalam melaksanakan fungsinya, ginjal dapat mengalami gangguan yang mengarah pada kerusakan jaringan ginjal. Beberapa zat yang dapat merusak ginjal baik struktur  maupun fungsi ginjal, yaitu; 1. Makanan. Pada umumnya makanan yang tercemar racun kimia, racun tanaman serangga atau makanan yang secara alamiah sudah mengandung racun seperti jengkol, singkong ataupun jamur yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal. 2. Bahan kimia. Bahan yang mengandung logam seperti Pb (Pb), emas, kadmium. 3. Obat-obatan antibiotik, obat kemotrapi,






A.  Definisi
Gagal ginjal kronis merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang   berlangsung pelahan-lahan karena penyebab berlangsung lama dan menetap yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit (toksik uremik)sehingga ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan menimbulkan gejala sakit ( Hudak & Gallo, 1996 ).
Gagal ginjal kronis atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).  (Brunner & Suddarth, 2001; 1448). Gagal ginjal kronis terjadi dengan lambat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan penurunan bertahap dengan fungsi ginjal dan peningkatan bertahap dalam gejala-gejala, menyebabkan penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², sebagai berikut:
1.      Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
·      Kelainan patologik
·      Petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan
2.      Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal
(Sumber: Chonchol, 2005)

B.  Etiologi
Berdasarkan data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%) (Roesli, 2008).


a.   Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998). Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).

b.  Diabetes melitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM) yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen, lebih sensitive terhadap pengaruh angiotensin II dibanding arteriole aferen,dan mungkin inilah yang dapat menerangkan mengapa pada diabetes yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik dan ada hiperfiltrasi glomerus.
Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes militus tipe I (IDDM) dapat dibedakan dalam 5 tahap:
1.    Stadium I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)
Secara klinik pada tahap ini akan dijumpai: Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi glomerules mencapai 20- 50% diatas niali normal menurut usia. Hipertrofi ginjal, yang dapat dilihat melaui foto sinar x. Glukosuria disertai poliuria. Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/min.
    
2.    Stadium II (Silent Stage) Ditandai dengan: Mikroalbuminuria normal atau mendekati normal (<20ug/min) Sebagian penderita menunjukkan penurunan laju filtrasi glomerulus ke normal. Awal kerusakan strukturr ginjal.
3.    Stadium III (Incipient Nephropathy Stage) Stadium ini ditandai dengan: Awalnya dijumpai hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai menurun Mikroalbuminuria 20 sampai 200ug/min yang setara dengan eksresi protein 30-300mg/24j. Awal Hipertensi.
4.    Stadium IV (Overt Nephroathy Stage) Stadium ini ditandai dengan: Proteinuria menetap(>0,5gr/24j). Hipertensi Penurunan laju filtrasi glomerulus.
5.    Stadium V (End Stage Renal Failure) Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah mendekati nol dan dijumpai fibrosis ginjal.Rata-rata dibutuhkan waktu15-17 tahun untuk sampai pada stadium IV dan5-7tahun kemudian akan sampai stadiumV.
Salah satu penyebab gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus, suatu kondisi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa darah, seiring waktu tingginya kadar gula dalam darah aka merusak jutaan unit penyaringan kecil dalam setiap ginjal.Pada DM yang tidak terkontrol akan terjadi komplikasi, komplikasi yang terjadi adalah nefropati diabetikum. Nefropati diabetikum sendiri terjadi akibat terdapat gangguan pada fungsi ginjal akibat terdapatnya kebocoran yang memungkinkan protein lolos dan bercampur dengan air seni. Kondisi ini menyebabkan fungsi penyaringan, pembuangan, dan hormonal ginjal terganggu. Pada DM juga bisa terjadi penyumbatan pada pembuluh darah halus (glomerulus) ginjal akibat kadar glukosa darah yang tinggi sedangkan kepekaan sel terhadap insulin menurun, hal ini menyebabkan secara otomatis tubuh akan langsung membuang kelebihan glukosa dalam darah melalui urine. Kemudian ginjal harus menyaring glukosa dalam darah untuk selanjutnya dibuang bersamaan dengan urine tersebut. Ketika pembuluh darah halus mengalami penyumbatan maka fungsi ginjal dapat terhambat mengingat fungsi pembuluh darah tersebut adalah menyaring zat-zat racun dari dalam tubuh.
Telah diperkirakan bahwa 30-40% pasien DM tipe 1 akan berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu 15-25 tahun setelah awitan diabetes. Sedangkan untuk DM tipe 2 akan lebih sedikit insidennya. DM menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk dan dapat dibagi menjadi 5 stadium, yaitu :
v  STADIUM 1
Terjadi apabila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan dikeluarkan lewat ginjal secara berlebihan. Keadaan ini membuat ginjal hipertrofi dan hiperfiltrasi. Pasien akan mengalami poliuria. Perubahan ini diyakini dapat menyebabkan glomerulusklerosis fokal, yang terdiri dari penebalan difus matriks masangeal dengan bahan eosinofilik disertai penebalan membrane basalis kapiler. Bila penebalan semakin meningkat GFR juga akan semakin meningkat, maka anak masuk pada stadium 2.

v  STADIUM 2
Ekskresi albumin relative normal (<30mg/24 jam) pada beberapa penderita mungkin masih terdpat hiperfiltrasi yang mempunyai resiko lebih tinggi dalam berkembang menjadi nefropati diabetic.

v  STADIUM 3
Pada stadium 3 glomerulus dan tubulus sudah mengalami beberapa kerusakan. Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap dan terjadi hipertensi. Pada stadium 3 terdapat mikroalbuminuria (30-300mg/24 jam).

v  STADIUM 4
Stadium 4 diatandai dengan proteinuria dan penurunan GFR. Retinopati dan hipertensi hamper selalu ditemui. Stdium 4 difstick positif proteinuria, ekskresi albumin  >300mg/24 jam.




v  STADIUM 5
Stadium 5 adalah stadium akhir ditandai dengan peningkatan BUN dan Creatinin plasma yang disebabkan oleh penurunan GFR yang cepat. Dialisa biasanya dimulai ketika GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt.

Mekanisme gagal ginjal kronik akibat DM ada 3 yaitu :
1.    Penderita DM memiliki sistem imun yang rendah sehingga mudah terjadi infeksi pada ginjal.
2.    Pada DM terjadi peningkatan VLDL dan kecenderungan pembekuan darah sehingga akan mendorong terbentuknya makroangiopati yang akan merusak ginjal.
3.    Peningkatan asam amino akibat proteolisis yang akan meningkat akan menyebebkan hiperfiltrasi pada ginjal sehingga menyebabkan glomerulosklerosis (Silberngl, 2006).
Mekanisme diabetes dalam merusak ginjal diawali dengan tingginya kadar gula darah dalam tubuh sehingga bereaksi dengan protein yang pada akhirnya mengubah struktur dan fungsi sel, termasuk membrane basal glomerulus. Akibatnya, penghalang protein rusak dan terjadi kebocoran protein ke urine (albuminuria).
Gejala nefropati diabetikbaru terasa jika kerusakan ginjal sudah parah yakni ditandai dengan bengkak pada kaki dan wajah, mual, muntah, lesu, sakit kepala, gatal, sering cegukan dan mengalami penurunan berat badan. Walaupun gejala komplikasi yang timbul seringkali tidak khas terdapat cara untuk melakukan deteksi dini yaitu dengan cara memeriksa urine.

c.   Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).



d.  Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).


Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation, 2009).

C.  Klasifikasi
Terdapat 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui penghitungan nilai Glumerular Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR dokter akan memeriksakan sampel darah penderita ke laboratorium untuk melihat kadar kreatinin dalam darah. Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya disaring dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
v  Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
v  Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
v  Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
v  Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
v  Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat badan ( kg )
                                                                        72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85
Stadium 1
Seseorang yang berada pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100 persen, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam stadium 1. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
Stadium 2
Sama seperti pada stadium awal, tanda – tanda seseorang berada pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
Stadium 3
Seseorang yang menderita GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min. dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi sisa – sisa metabolisme akan menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada stadium ini muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
§  Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
§  Kelebihan cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
§  Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
§  Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi.
§  Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
§  Penderita GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri ke seorang ahli ginjal hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan rekomendasi terbaik serta terapi – terapi yang bertujuan untuk memperlambat laju penurunan fungsi ginjal. Selain itu sangat disarankan juga untuk meminta bantuan ahli gizi untuk mendapatkan perencanaan diet yang tepat. Penderita GGK pada stadium ini biasanya akan diminta untuk menjaga kecukupan protein namun tetap mewaspadai kadar fosfor yang ada dalam makanan tersebut, karena menjaga kadar fosfor dalam darah tetap rendah penting bagi kelangsungan fungsi ginjal. Selain itu penderita juga harus membatasi asupan kalsium apabila kandungan dalam darah terlalu tinggi. Tidak ada pembatasan kalium kecuali didapati kadar dalam darah diatas normal. Membatasi karbohidrat biasanya juga dianjurkan bagi penderita yang juga mempunyai diabetes. Mengontrol minuman diperlukan selain pembatasan sodium untuk penderita hipertensi.

Stadium 4
Pada stadium ini fungsi ginjal hanya sekitar 15 – 30 persen saja dan apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya  muncul pada stadium ini. Selain itu besar kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya.
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah :
§   Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
§   Kelebihan cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak dapat lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan yang berada dalam tubuh.
§   Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
§   Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti polikistik dan infeksi.
§   Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
§   Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
§   Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
§   Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau pernafasan yang tidak enak.
§   Sulit berkonsentrasi

Stadium 5 (gagal ginjal terminal)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara  lain :
§  Kehilangan napsu makan
§  Nausea.
§  Sakit kepala.
§  Merasa lelah.
§  Tidak mampu berkonsentrasi.
§  Gatal – gatal.
§  Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
§  Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
§  Keram otot
§  Perubahan warna kulit

D.  Prognosis
Pada penyakit gagal ginjal dini (mikro albuminuria)sudah mempunyai prognostik morbiditas dan mortalitas kardio vaskuler. Dengan memberatnya kelainan ginjal, disertai dengan penurunan fungsi ginjal, prognosis terbukti semakin buruk,menuju gagal ginjal yang memerlukan dialisis, komplikasi organ target yang mengurangi kualitas hidup dan meningkatkan angka kematian ( Suhardjono, 2001 ).

E.  Patofisiologi
Penyebab yang mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit glomerulus baik primer maupun sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis interstisial, obstruksi saluran kemih. Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan 2 mekanisme kerusakan : (1) mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme kerusakan progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang tersisa.
Ginjal kita memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki kontribusi terhadap total GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperti yang telah dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan untuk mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat yang tersisa ini akan mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan akan menyebabkan hipertensi sistemik dalam glomerulus. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan  hipertrofi nefron yang sehat sebagai mekanisme kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan proteinuria. Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi dari gagal ginjal. Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan kerusakan langsung terhadap jalur lisosomal intraselular, meningkatkan stres oksidatif, meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan faktor kemotaktik yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel melalui pengambilan dan aktivasi makrofag.
Inflamasi kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis matriks ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis tubulointerstitiel, dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat menjadi berkurang dan akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.
Kerusakan struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi ekskretorik maupun non-ekskretorik ginjal.  Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal antara lain penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan reabsorbsi Na pada tubuli, penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan ekskresi hidrogen.
Kerusakan fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca, menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO), menurunkan fungsi insulin, meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan sistem reproduksi. Angiotensin II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan intraglomerular. Angiotensin II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di ginjal dan merupakan vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan intraglomerular dengan cara meningkatkan irama arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu stres oksidatif yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi, dan kemoaktraktan, sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam patofisiologi CKD.
Gangguan tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan karena banyak sebab, salah satunya adalah penurunan sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D atau kalsitriol, yang akan menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi penurunan absorbsi Ca. Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan hipokalsemia dan osteodistrofi. Pada CKD akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal terhadap PTH. Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback negatif inhibitor, sedangkan hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan sekresi PTH.
Karena penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk mengekskresikan zat – zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor ini akan menyebabkan inhibisi 1- α  hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi peningkatan hormon parathormon. Akhirnya akan timbul hiperparatiroidisme sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder akan menyebabkan depresi pada sumsum tulang sehingga akan menurunkan pembentukan eritropoetin yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia. Selain itu hiperparatiroidisme sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi yang diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone disorder, dan mixed osteodistrofi. Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan retensi air sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan oedem, hipertensi. Penurunan ekskresi kalium juga terjadi terutama bila GFR < 25 ml/mnt, terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan ekskresi ini akan menyebabkan hiperkalemia sehingga meningkatkan resiko terjadinya kardiak arrest pada pasien.
Asidosis metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi adanya anion gap yang normal maupun peningkatan anion gap.  Pada CKD, ginjal tidak mampu membuat ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk mengekskresikan asam endogen ke dalam urin dalam bentuk ammonium. Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada CKD stadium 5. Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan anion – anion lain yang tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada CKD dapat menyebabkan gangguan metabolisme protein. Selain itu asidosis metabolic juga merupakan salah satu faktor dalam perkembangan osteodistrofi ginjal.
Pada CKD terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa nitrogen dalam tubuh. Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea nitrogen akan meningkat, begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat. Uremia yang bersifat toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai sistem saraf perifer dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan trombositopati dan memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada GIT, dan dapat berkembang menjadi anemia bila penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di kulit akan menyebabkan pasien merasa gatal – gatal.
Pada CKD akan terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin menurun, maka gula darah akan meningkat. Peningkatan produksi lipid akan memicu timbulnya aterosklerosis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung.
Anemia pada CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada hiperparatiroidisme sekunder yang akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu anemia dapat terjadi juga karena masa hidup eritrosit yang memendek akibat pengaruh dari sindrom uremia. Anemia dapat juga terjadi karena malnutrisi.

F.  Tanda Dan Gejala
Penurunan fungsi ginjal akan mengakibatkan berbagai manifesotasi klinik mengenai dihampir semua sistem tubuh manusia, seperti:
ü  Gangguan pada Gastrointestinal
Dapat berupa anoreksia, nausea, muntah yang dihubungkan dengan terbentuknya zat toksik (amoniak, metal guanidin) akibat metabolisme protein yang terganggu oleh bakteri usus sering pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Disamping itu sering timbul stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya. Gastritis erosif hampir dijumpai pada 90 % kasus Gagal Ginjal Kronik, bahkan kemungkinan terjadi ulkus peptikum dan kolitis uremik.
ü  Kulit
Kulit berwarna pucat, mudah lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan gatal akibat uremik atau pengendapan kalsium pada kulit.

ü  Hematologi
      Anemia merupakan gejala yang hampr selalu ada pada Gagal Ginjal Kronik. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal tanpa disertai anemia perlu dipikirkan apakah suatu Gagal Ginjal Akut atau Gagal Ginjal Kronik dengan penyebab polikistik ginjal yang disertai polistemi. Hemolisis merupakan sering timbul anemi, selain anemi pada Gagal Ginjal Kronik sering disertai pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula disertai trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu sehingga pertahanan seluler terganggu, sehingga pada penderita Gagal Ginjal Kronik mudah terinfeksi, oleh karena imunitas yang menurun.
ü  Sistem Saraf Otot
      Penderita sering mengeluh tungkai bawah selalu bergerak-gerak (restlesslessleg syndrome), kadang tersa terbakar pada kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa kelemahan, gangguan tidur, gangguan konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan kesadaran atau koma.
ü  Sistem Kardiovaskuler
      Pada gagal ginjal kronik hampir selalu disertai hipertensi, mekanisme terjadinya hipertensi pada Gagal Ginjal Kronik oleh karena penimbunan garam dan air, atau sistem renin angiostensin aldosteron (RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang sering dijumpai akibat kelebihan cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi perikardial. Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan elektrolit.
ü  Sistem Endokrin
      Gangguan seksual seperti penurunan libido, ion fertilitas sering dijumpai pada Gagal Ginjal Kronik, pada wanita dapat pula terjadi gangguan menstruasi sampai aminore. Toleransi glukosa sering tergangu paa Gagal Ginjal Kronik, juga gangguan metabolik vitamin D.
ü  Gangguan lain
      Akibat hipertiroid sering terjadi osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan elektrolit dan asam basa hampir selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik, hiperkalemia, hiperforfatemi, hipokalsemia.
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan kardiovaskular (Sukandar, 2006).

G. Pemeriksaan Penunjang
Ø  Urine
-     Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar (anuria)
-     Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak, partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah, HB, mioglobin.
-     Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat).
-     Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio urine/serum sering 1:1
-     Klirens keratin : Mungkin agak menurun
-     Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
-     Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
Ø  Darah
-     BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
-     Hitung darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang ari 78 g/dL
-     SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
-     GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
-     Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal (menunjukan status dilusi hipernatremia).
-     Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan
-     EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
-     Magnesium/Fosfat : Meningkat
-     Kalsium : Menurun
-     Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial.
-     Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.

Ø  Piolegram Intravena
-     Piolegram Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.
-     Arteriogram Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular massa.

Ø  Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke dalam ureter, terensi.

Ø  Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.

Ø  Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histoligis.

Ø  Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
Foto Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dan Tangan : Dapat menunjukan demineralisasi.

H.  Komplikasi
Komplikasi yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang
(Smeltzer & Bare, 2001)

I.    Penatalaksanaan
1.   Terapi konservatif
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2006).
a.    Peranan diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.



b.    Kebutuhan jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.

c.    Kebutuhan cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.

d.    Kebutuhan elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).

2.   Terapi simtomatik
a.    Asidosis metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b.    Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak.

c.    Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik.

d.    Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.

e.    Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi.


f.     Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.

g.    Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita.



h.    Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a.    Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar, 2006).
Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).

1.    Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).

2.    Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu:
a.          Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.
b.         Kualitas hidup normal kembali
c.          Masa hidup (survival rate) lebih lama
d.         Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan
e.          Biaya lebih murah dan dapat dibatasi




















ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CKD

A.  PENGKAJIAN
Pengkajian fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada Doenges (2001), serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1.   Demografi.
Penderita CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang mengalami CKD dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti proses pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu lama dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandung banyak senyawa / zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2.   Riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM,glomerulonefri tis, hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3.   Pengkajian pola fungsional Gordon
a.    Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah. Pasien juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya seprti ini meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
b.    Pola nutrisi dan metabolik.
Gejalanya adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6 bulan. Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau turun.
c.    Pola eliminasi
Gejalanya adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.

d.    Aktifitas dan latian.
Gejalanya adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak dapat menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
e.    Pola istirahat dan tidur.
Gejalanya adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata. Tandanya adalah pasien terliat sering menguap.
f.     Pola persepsi dan kognitif.
Gejalanya penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan kesadaran seperti ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
g.    Pola hubungan dengan orang lain.
Gejalanya pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai terjadinya HDR (Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup, komunikasi tidak jelas.
h.    Pola reproduksi
Gejalanya penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan dalam hubungan. Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan, penurunan kualitas hubungan.
i.      Pola persepsi diri.
Gejalanya konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema, citra diri jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya diri.
j.      Pola mekanisme koping.
Gejalanya emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan tepat, mudah terpancing emosi.
k.    Pola kepercayaan
Gejalanya pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah meninggalkan perintah agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan agama seperti biasanya.
4.    Pengkajian fisik
a.    Penampilan / keadaan umum
Lemah, aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari compos mentis sampai coma.
b.    Tanda-tanda vital.
TD naik, respirasi naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan reguler.
c.    Antropometri.
Penurunan berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau terjadi peningkatan berat badan karena kelebian cairan.

d.    Kepala
Rambut kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga, hidung kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e.    Leher dan tenggorok : peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada leher.
f.     Dada
Dispnea sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu napas, pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
g.    Abdomen : terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h.    Genital : kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat ulkus.
i.      Ekstremitas.
Kelemahan fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan Capillary Refil lebih dari 1 detik.
j.      Kulit : turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat / uremia, dan terjadi perikarditis.

B.  DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul adalah:
1.    Intoleransi aktivitas b.d keletihan/kelemahan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialysis.
2.    Kelebihan volume cairan b.d penurunan haluan urin, retensi cairan dan natrium.
3.    Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake makanan yang inadekuat (mual, muntah, anoreksia dll).
4.    Ketidak efektifan pola nafas b/d hiperventilasi
5.    Risiko infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer, tindakan invasive
6.    Gangguan perfusi jaringan b/d suplai O2 jaringan menurun
7.    Penurunan Curah Jantung b/d penurunan COP
8.    Kerusakan integritas kulit b/d peningkatan ureum
9.    Nyeri akut b/d insisi pada lengan
10.  Resiko perdarahan
11.  Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b/d akumulasi secret pada tindakan anestesi (transplantasi ginjal)
12.  Kerusakan integritas jaringan b/d tindakan hecting

C.  RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
N
Diagnosa
Tujuan/KH
Intervensi
1
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Setelah dilakukan askep ... jam risiko infeksi terkontrol dg KH:
·  Menunjukkan jalan nafas yang paten

Manajemen jalan nafas
1.    Berikan O2 ……l/m
2.    Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
3.    Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
4.    Monitor status hemodinamik
5.    Monitor respirasi dan dan statu O2
2
Pola nafas tidak efektif b.d hiperventilasi, penurunan energi, kelemahan
Setelah dilakukan askep ..... jam pola nafas klien menunjukkan ventilasi yg adekuat dg kriteria :
·         Tidak ada dispnea
·         Kedalaman nafas normal
·         Tidak ada retraksi dada / penggunaan otot bantuan pernafasan
Monitor Pernafasan:
1.    Monitor irama, kedalaman dan frekuensi pernafasan.
2.    Perhatikan pergerakan dada.
3.    Auskultasi bunyi nafas
4.    Monitor peningkatan ketidakmampuan istirahat, kecemasan dan sesak nafas.


Pengelolaan Jalan Nafas
5.    Atur posisi tidur klien untuk maximalkan ventilasi
6.    Lakukan fisioterapi dada jika perlu
7.    Monitor status pernafasan dan oksigenasi sesuai kebutuhan
8.    Auskultasi bunyi nafas
9.    Bersihhkan skret jika ada dengan batuk efektif / suction jika perlu.
3
Kelebihan volume cairan b.d. mekanisme pengaturan melemah
Setelah dilakukan askep .....  jam pasien mengalami keseimbangan cairan dan elektrolit.
Kriteria hasil:
·         Bebas dari edema anasarka, efusi
·         Suara paru bersih
·         Tanda vital dalam batas normal
Fluit manajemen:
1.    Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat)
2.    Monitor tnada vital
3.    Monitor adanya indikasi overload/retraksi
4.    Kaji daerah edema jika ada

Fluit monitoring:
5.    Monitor intake/output cairan
6.    Monitor serum albumin dan protein total
7.    Monitor RR, HR
8.    Monitor turgor kulit dan adanya kehausan
9.    Monitor warna, kualitas dan BJ urine
4
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Setelah dilakukan askep …..jam klien menunjukan status nutrisi adekuat dibuktikan dengan kriteria hasil
·         BB stabil
·         Tidak terjadi malnutrisi,
·         Tingkat energi adekuat
·         Masukan nutrisi adekuat
Manajemen Nutrisi
1.    kaji pola makan klien
2.    Kaji adanya alergi makanan.
3.    Kaji makanan yang disukai oleh klien.
4.    Kolaborasi dg ahli gizi untuk penyediaan nutrisi terpilih sesuai dengan kebutuhan klien.
5.    Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan nutrisinya.
6.    Yakinkan diet yang dikonsumsi mengandung cukup serat untuk mencegah konstipasi.
7.    Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan pentingnya bagi tubuh klien

Monitor Nutrisi
8.    Monitor BB setiap hari jika memungkinkan.
9.    Monitor respon klien terhadap situasi yang mengharuskan klien makan.
10.  Monitor lingkungan selama makan.
11.  Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak bersamaan dengan waktu klien makan.
12.  Monitor adanya mual muntah.
13.  Monitor adanya gangguan dalam proses mastikasi/input makanan misalnya perdarahan, bengkak dsb.
14.  Monitor intake nutrisi dan kalori
6
Resiko infeksi b/d tindakan invasive, penurunan daya tahan tubuh primer
Setelah dilakukan askep ... jam risiko infeksi terkontrol dg KH:
·         Bebas dari tanda-tanda infeksi
·         Angka leukosit normal
·         Pasien mengatakan tahu tentang tanda-tanda dan gejala infeksi
Kontrol infeksi
1.    Ajarkan tehnik mencuci tangan
2.    Ajarkan tanda-tanda infeksi
3.    laporkan dokter segera bila ada tanda infeksi
4.    Batasi pengunjung
5.    Cuci tangan sebelum dan sesudah merawat ps
6.    Tingkatkan masukan gizi yang cukup
7.    Anjurkan istirahat cukup
8.    Pastikan penanganan aseptic daerah IV
9.    Berikan PEN-KES tentang risk infeksi
Proteksi infeksi:
10.  Monitor tanda dan gejala infeksi
11.  Pantau hasil laboratorium
12.  Amati faktor-faktor yang bisa meningkatkan infeksi
13.  Monitor Vital Sign

Intoleransi aktivitas b.d ketidakseimbangan suplai & kebutuhan O2
Setelah dilakukan askep ... jam Klien dapat menoleransi aktivitas & melakukan ADL dgn baik
Kriteria Hasil:
·      Berpartisipasi dalam aktivitas fisik dgn TD, HR, RR yang sesuai
·      Warna kulit normal,hangat&kering
·      Memverbalisasikan pentingnya aktivitas secara bertahap
·      Mengekspresikan pengertian pentingnya keseimbangan latihan & istirahat
·      Peningkatan toleransi aktivitas
NIC: Toleransi aktivitas
1.    Tentukan penyebab intoleransi aktivitas & tentukan apakah penyebab dari fisik, psikis/motivasi
2.    Kaji kesesuaian aktivitas&istirahat klien sehari-hari
3.    Peningkatan aktivitas secara bertahap, biarkan klien berpartisipasi dapat perubahan posisi, berpindah&perawatan diri
4.    Pastikan klien mengubah posisi secara bertahap. Monitor gejala intoleransi aktivitas
5.    Ketika membantu klien berdiri, observasi gejala intoleransi spt mual, pucat, pusing, gangguan kesadaran&tanda vital
6.    Lakukan latihan ROM jika klien tidak dapat menoleransi aktivitas


Nyeri Akut
Setelah dilakukan askep ... jam Klien dapat menoleransi aktivitas & melakukan ADL dgn baik
Kriteria Hasil:
·        Mampu mengontrol nyeri
·        Melaporkan bahwa nyeri berkurang
·        Mampu mengenali nyeri
·        Menyatukan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
·        TTV dalam rentang normal
·        Tidak mengalami gangguan tidur

Pain Managemen
1.  Lakukan pengkajian secara komperhensive
2.  Pobservasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
3.  Kurangi factor prsipitasi nyeri
4.  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk melakukan intervensi
5.  Tingkatkan istirahat
6.  Monitor TTV


Resiko Perdarahan
Setelah dilakukan askep ... jam Klien dapat menoleransi aktivitas & melakukan ADL dgn baik
Kriteria Hasil:
1.  Tidak terjadi perdarahan
Bleeding reduction
1.  Mengkaji kehilangan darah
2.  Melakukan tindakan penghentian perdarahan
3.  Menghitung jumlah kassa yang telah digunakan
4.  Monitor TTV


Kerusakan integritas jaringan
Setelah dilakukan askep ... jam Klien dapat menoleransi aktivitas & melakukan ADL dgn baik
Kriteria Hasil:
Tissue integrity skin and mucous membrane
Wound Care
1.  Monitor kulit adanya kemerahan
2.  Observasi luka :
a.  Lokasi
b.  Dimensi
c.  Warna
d.  Karakteristik
e.  Tanda-tanda infeksi local
3.  Mempertahankan teknik aseptic salama tindakan
4.  Memberikan dressing yang sesuai dengan luka
5.  Monitor TTV
6.  Kolaborasi diet untuk klien









HEMODIALISIS

A.   Definisi
Hemodialisis adalah suatu proses memisahkan sisa metabolisme yang tertimbun dalam darah dan mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit juga asam basa melalui sirkulasi ekstrakorporeal dengan menggunakan ginjal buatan. Beberapa aspek yang mempunyai hubungan erat dengan masalah keperawatan antara lain : Ginjal buatan, Dialisat, Pengolahan Air, AksesDarah, Antikoagulan, tekhnik Hemodialisa, Perawatan Pasien Hemodialisa, Kompliokasi akut hemodialisa dan pengelolaannya, peranan perawat yang bekerja di luar HD (ruang perawatan biasa)
1.    Ginjal Buatan
Suatu alat yang digunakan untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, bila fungsi kedua ginjal sudah tidak memadai lagi, mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit, mengeluarkan racun-racun atau toksin yang merupakan komplikasi dari Gagal Ginjal. Sedangkan fungsi hormonal/ endokrin tidak dapat diambil alih oleh ginjal buatan. Dengan demikian ginjal buatan hanya berfungsi sekitar 70-80 % saja dari ginjal alami yang normal.
Macam-macam ginjal buatan :
a.    Paraller-Plate Diyalizer
Ginjal pertama kali ditemukan dan sudah tidak dipakai lagi, karena darah dalam ginjal ini sangat banyak sekitar 1000 cc, disamping cara menyiapkannya sangat sulit dan membutuhkan waktu yang lama.
b.    Coil Dialyzer
Ginjal buatan yang sudah lama dan sekarang sudah jarang dipakai karena volume darah dalam ginjal buatan ini banyak sekitar 300 cc, sehingga bila terjadi kebocoran pada ginjal buatan darah yang terbuang banyak. Ginjal ini juga memerlukan mesin khusus, cara menyiapkannya juga memerlukan waktu yang lama.
c.    Hollow Fibre Dialyzer
Ginjal buatan yang sangat banyak saat ini karena volume darah dalam ginjal buatan sangat sedikit sekitar 60-80 cc, disamping cara menyiapkannya mudah dan cepat.



2.    Dialisat
Adalah cairan yang terdiri dari air, elektrolit dan zat-zat lain supaya mempunyai tekanan osmotik yang sama dengan darah.
Fungsi Dialisat pada dialisit:
a.    Untuk mengeluarkan dan menampung cairan dan sisa metabolisme
b.    Untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa

Tabel perbandingan darah dan dialisat :
 Komponen elektrolit
Darah
Dialisat
Natrium/sodium
136mEq/L
134mEq/L
Kalium/potassium
4,6mEq/L
2,6mEq/L
Kalsium
4,5mEq/L
2,5mEq/L
Chloride
106mEq/L
106mEq/L
Magnesium
1,6mEq/L
1,5mEq/L

Ada 3 cara penyediaan cairan dialisat :
a.    Batch Recirculating
Cairan dialisat pekat dicampur air yang sudah diolah dengan perbandingan  1 : 34 hingga 120 L dimasukan dalam tangki air kemudian mengalirkannya ke ginjal buatan dengan kecepatan 500 – 600 cc/menit
b.    Batch Recirculating/single pas
Hampir sama dengan cara batch recirculating hanya sebagian langsung buang.
c.    Proportioning Single pas
Air yang sudah diolah dan dialisat pekat dicampus secara konstan oleh porpropotioning dari mesin cuci darah dengan perbandingan air : dialisat = 34 : 1 cairan yang sudah dicampur tersebut dialirkan keginjal buatan secara langsung dan langsung dibuang, sedangkan kecepatan aliran 400 – 600 cc/menit


3.    Pengolahan air/ Water Treatment
Tujuan :
a.    Mencegah infeksi nosokongial (sepsis
b.    Mencegah intoksikasi (trace element).
Air untuk mencampur dialisat pekat tidak perlu steril tetapi seharusnya tidak mengandung zat/elektrolit, mikroorganisme dan benda-benda asing lainnya. Pada kenyataannya kandungan air biasanya cukup bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh letak geografis jenis sumber air, musim, sistim instalasi dan penjernihan air.

4.    Akses Darah
Hemodialisme akan efektif jika dialisme dilakukan sekitar 2-6 jam/minggu pada pasien baru, sedangkan pada pasien yang sudah stabil dan menjalani kronik hemodialisa sekitar 6 – 18 jam /minggu. Untuk mendapatkan aliran darah yang besar ( sekitar 200 -300 cc/menit) selama 2jam sangatlah sulit. Biasannya pada pasien akut kita lakukan pada vena vemoralis, sehingga dapat diperoleh aliran darah yang besar. Pada pasien dengan program HD berkala yaitu 2 -3 kali/minggu harus disiapkan penyambungan pembuluha darah arteri dan vena.
Ada 2 macam cara :
a.  Pintas (shunt) eksternal
Kanula khusus yang mengalirkan darah arteri langsung ke vena yang berdekatan. Kanula arteri dan vena dihubungan dengan konektor sehingga pada saat dialisa konektor dibuka lalu kanula arteri dihubungkan ke slang yang mengalirkan darah ke ginjal buatan dan kanula vena untuk memasukkan darah kembali ketubuh penderita. Komplikasi yang sering terjadi, seperti pembekuan darah infeksi, oleh karena itu pemakaian pintas ini biasanya dibatasi lama pamakaiannya, paling lama 6 bulan. Hal ini jarang dilakukan lagi.
b.  Fistula Arteriovenisa Interna
Fistula Arteriovenisa Interna pertama kali dibuat oleh Brescia dan Cimino pada tahun 1966 yaitu menghubungan arteri dan vena yang berdekatan dengan cara operatif, biasanya dilakukan pada daerah tangan. Aliran dan tekanan darah dalam vena akan meningkat sehingga menyebabkan pelebaran lumen vena dan arterialisasi vena secara perlahan-lahan. Dengan demikian memudahkan penusukan pembuluh darah sesuai dengan yang diharapkan.


c.   Antikoagulan
Selama hemodialisa berlangsung diperlukan antikoagulan agar tidak terjadi pembekuan darah, yang biasanya digunakan heparin.
Pemakaian heparin ini dikenal dengan heparinisasi, macam heparinisasi :
1)  Heparinisasi sistemik
Digunakan pada hemodialisa kronik yang stabil. Bolus heparin 1000 – 5000 unit tiap jam. Pada jam terakhir tidak diberikan lagi.
2)   Heparinisasi regional(sedang haid) bolus heparin tetap diberikan sebanyak 1000 – 5000 unit, selanjutnya diinfuskan sebelum ginjal buatan dan protamine sulfat, sesudah ginjal buatan, sebelum darah masuk kedalam tubuh penderita. Jadi heparin diberikan pada sirkulasi ekstrakorporeal saja.
3)   Heparinisasi minimal
Diberikan hanya 500 unit saja pada awal tusukan karena penderita cenderung berdarah selanjutnya tidak diberikan lagi.

5.    Teknik hemodialisa
Sebelum berbicara tentang tekhnik hemodialisa terlebih dahulu menjelaskan beberapa istilah :
a.    Sirkulasi ekstrakorporeal
b.    Sirkulasi diluar tubuh selama terjadi hemodialisa.
c.    Sirkulasi sistemik
d.    Sirkulasi dalam tubuh
e.    Selaput semipermiabel
f.     Selaput yang sangat tipis mempunyai pori-pori halus, hanya dapa dilihat dengan mikroskop.
g.    Blood pump (Roller Pump)
h.    Pompa mesin hemodialisa yang gunanya mengalirkan darah dari sirkulasi sistemik ke sirkulasi ekstrakorporea dan kembali lagi ke sirkulasi sistemik selama proses hemodialisa.
i.      Blood Lines, selang darah yang mengalirkan darah dari tubuh penderita ke dyalizer disebut arteria blood lines/inlet, sedangkan selang yang mengalirkan darah dari dyalizer ke tubuh penderita disebut venous blood line/outlet.
6.    Persiapan mesin dan perangkat HD
a.    Pipa pembuangan sudah masuk dalam saluran pembuangan
b.    Sambungkan kabel mesin dengan stop kontak
c.    Hidupkan mesin ke rinse selama 15-30 menit
d.    Pindahkan ke posisi dialyze lalu sambungkan slang dialisat ke jaringan tempat dialisat yang telah disiapkan
e.    Tunggu sampai lampu hijau
f.     Tes conductivity dan temperatur
g.    Gantungkan saline normal sebanyak 4 flatboth yang telah diberikan heparin sebanyak 25-30 unit dalam masing-masing flatboth
h.    Siapkan ginjal buatan sesuai dengan kebutuhan pas
i.      Siapkan blood lines dan AV fiskula sebanyak2
j.      Ginjal buatan dan blood lines diisi saline normal (primin)
k.    Sambungkan dialisatelines pada ginjal buatan
l.      Sambil mempersiapkan pasien slang inlet dan outlet disambungkan lalu jalankan blood pump (sirkulasi tertutup).

7.    Persiapan Penderita :
Indikasi hemodialisa
a.    Segera/ indikasi mutlak : over hidrasi atau edema paru, hiperkalemi, aliguri berat atau anuria, asidosis, hipertensi maligma.
b.    Dini/ profilaksis : gejala uremia (mual muntah) perubahan mental, penyakit tulang, gangguan pertumbuhan dan seks, perubahan kualitas hidup.
Bila penderita baru yang datang di ruang HD, sebelum kita melakukan HD terlebih dahulu periksa kembali hasil-hasil pemeriksaan yang penting (Hb, hematokrit, ureum, kreatinin, dan HbsAg), hal ini perlu untuk menentukan tindak lanjut sperlu untuk menentukan tindak lanjut suatu HD.
Langkah-langkah HD
a.    Timbang dan catat BB
b.    Ukur dan catat tekanan darah (dapat digunakan untuk menginterpretasikan kelebihan cairan)
c.    Tentukan akses darah yang akan ditusuk.
d.    Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan betadine 10% lalu alcohol 70% kemudian ditutup pakai duk steril.
e.    Sediakan alat-alat yang steril didalam bak spuit kecil :spuit 2,5cc sebanyak 1, spuit 1 cc 1 buah, mangkok kecil berisi saline 0,9% dan kasa steri
f.     Sediakan obat-obatan yang perlu yaitu lidonestdan heparin.
g.    Pakai masker dan sarung tangan steril.
h.    Lakukan anestesi local didaerah akses darah yang akan ditusu
i.      Tusuk dengan AV fistula lalu berikan heparin sebanyak 2000unit pada inlet sedangkan outlet sebanyak 1000 unit.
j.      Siap sambungkan ke sirkulasi tertutup yang telah disediakan.
k.    Aliran darah permulaan sampai 7 menit 75 ml/menitkemudian dinaikkan perlahan sampai 200 ml/menit.
l.      Tentukan TMP sesuai dengan kenaikkan berat badan.
m.   Segera ukur kemabali tekanan darah, nadi, pernapasan, akses darah yang digunakan dicatat dalam status yang telah tersedia.

8.    Perawatan pasien Hemodialisa
Terbagi 3 yaitu ;
a.    Perawatan sebelum hemodialisa
Ø  Mempersiapkan perangkat HD
Ø  Mempersiapkan mesin HD
Ø  Mempersiapkan cara pemberian heparin
Ø  Mempersiapkan pasien baru dengan memperhatikan factor BioPsikososial,  agar penderita dapat bekerja sama dalam hal program HD
Ø  Mempersiapkan akses darah
Ø  Menimbang berat bada, mengukur tekanan darah, nadi, pernapasan
Ø  Menentukan berat badan kering
Ø  Mengambil pemeriksaan rutin dan sewaktu
b.    Perawatan Selama Hemodialisa
Selama HD berjalan ada 2 hal pokok yang diobservasi yaitu penderita dan mesin HD
1)    Observasi terhadap pasien HD
*      Tekanan darah, nadi diukur setiap 1 jam lalu dalam status
*      Dosis pemberian heparin dicatat setiap 1 jam dalam status
*      Cairan yang masuk perparenteral maupun peroral dicatat jumlahnya dalam status
*      Akses darah dihentikan
2)    Observasi terhadap mesin HD
*      Kecepan aliran darah /Qb, kecepatan aliran dialisat/Qd dicatat setiap 1 jam
*      Tekanan negatif, tekanan positif, dicatat setiap jam
*      Suhu dialisa, conductivity diperhatikan bila perlu diukur
*      Jumlah cairan dialisa, jumlah air diperhatikan setiap jam
*      Ginjal buatan, slang darah, slang dialisat dikontrol setiap 1 jam.
c.    Perawatan sesudah Hemodialisa
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu cara menghentikan HD pada pasien dan mesin HD
1)    Cara mengakhiri HD pada pasien
Ø  Ukur tekanan darah nadi sebelum slang inlet dicabut
Ø  Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
Ø  Kecilkan aliran darah menjadi 75 ml/menit
Ø  Cabut AV fistula intel/ lalu bilas slang inlet memakai saline normal sebanyak 50-100 cc, lalu memakai udara hingga semua darah dalam sirkulasi ekstrakorporeal kembali ke sirkulasi sistemik
Ø  Tekan pada bekas tusukan inlet dan outlet selama 5-10 menit, hingga darah berhenti dari luka tusukan
Ø  Tekanan darah, nadi, pernapasan ukur kembali lalu catat
Ø  Timbang berat badan lalu dicatat
Ø  Kirimkan darah ke laboratorium
2)    Cara mengakhiri mesin HD
Ø  Kembalikan tekanan negatif, tekanan positif, ke posisi nol
Ø  Sesudah darah kembali ke sirkulasi sistemik cabut selang dialisat lalu kembalikan ke Hansen connector
Ø  Kembalikan tubing dialisat pekat pada konektornya
Ø  Mesin ke posisi rinse, lalu berikan cairan desifektan (hipoclhoride pekat) sebanyak 250 cc, atau cairan formalin 3% sebanyak 250 cc
Ø  Formalin dibiarkan selama 1-2 x 24 jam, baru mesin dirinsekan kembali.

DAFTAR PUSTAKA

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical–
surgical nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans:
Guidelines for planning and documenting patients care. Alih bahasa:Kariasa,I.M. Jakarta: EGC; 2000
Rindiastuti, Yuyun. 2006. Deteksi Dini Dan Pencegahan Penyakit Gagal Ginjal Kronik
Baradero, M. 2008. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta : EGC
Long, B.C. 2001. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan). Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.
Price, Sylvia dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi:6. Jakarta : EGC.
Reeves, C.S, Roux, G, lockhart. 2001. Medical- surgical Nursing. Jakarta : Salemba Medika.
Smeltzer, S dan Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Sundarth. Edisi  8. Jakarta : EGC.
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar ilmu Penyalit Dalam. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Sukandar, Enday. 2006. Gagal Ginjal dan Panduan Dialisis. Bandung : PPI FK UNPAD

1 komentar:

  1. wah pasti banyak yang terbantu dengan adanya Laporan pendahuluan CKD ini ya mbak ,mantab n komplit banget

    BalasHapus