BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Prevalensi gagal ginjal kronik menurut
United State Renal Data System (USRDDS) pada tahun 2009 adalah sekitar 10-13 %
didunia. Dalam Kartika (2013), berdasakan survei dari Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (PERNEFRI) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan
prevalensi penyakit gagal ginjal kronik yang cukup tinggi, yaitu sekitar 30,7
juta penduduk. Menurut data PT Askes, ada sekitar 14,3 juta orang penderita
gagal ginjal tahap akhir saat ini menjalani pengobatan yaitu dengan prevalensi
433 perjumlah penduduk, Jumlah ini akan meningkat hingga melebihi 200 juta pada
tahun 2025 ( Febrian, 2009 ).
Data yang didapatkan di RSUD Tugurejo
Semarang, pada arsip Rekam Medik bulan Januari 2012- Februari 2013 menunjukkan
bahwa sebanyak 100.368 pasien yang menjalani rawat jalan diataranya adalah
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa yaitu sebanyak 4901
pasien ( Rekam Medik, 2012).
Gagal Ginjal adalah suatu penyakit
dimana ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolic tubuh atau melakukan
fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin menumpuk dalam
cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi
endokrin dan metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa. Gagal ginjal
merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai
penyakit traktus urinarius dan ginjal ( Yusuf Fikri, 2012 ).
Gagal ginjal kronik atau penyakit
ginjal tahap akhir adalah destruksi struktur ginjal yang progresif dan terus-
menerus. Fungsi ginjal yang tidak dapat pulih dimana kemampuan tubuh untuk
mempertahankan keseimbangan metabolic, dan cairan elektrolit mengalami
kegagalan, yang menyebabkan uremia ( Elizabeth, 2009 ).
Menurut kresnawan (2005), Terapi
pengganti yang paling banyak dilakukan di Indonesia adalah Hemodialisa.
Prosedur Hemodialisa dapat menyebabkan kehilangan zat gizi, seperti protein,
sehingga asupan harian protein seharusnya juga ditingkatkan sebagai kompensasi
kehilangan protein, yaitu 1,2 g/kg BB ideal/ hari. Lima puluh persen protein
hendaknya bernilai biologi tinggi Protein seringkali dibatasi sampai 0,6/ kg/
hari bila GFR turun sampai dibawah 50 ml/ menit untuk memperlambat progresi
menuju gagal ginjal Rubenstein, (2005).
Pembatasan protein dilakukan karena
terjadinya disfungsi ginjal dengan salah satu cirinya adalah terjadinya uremia.
Pada keadaan normal ginjal akan mengeluarkan produk sisa metabolisme protein
(ureum) yang berlebihan didalam tubuh dalam bentuk urin namun sebaliknya
apabila terjadi kerusakan pada ginjal maka akan terjadi penumpukan ureum
didalam darah sehingga ginjal tidak mampu mengeluarkannya dan menjadikannya
semakin tinggi (Bastiansyah,2008).
Penderita gagal ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa juga dapat mengalami anemia. Anemia muncul ketika
kreatinin turun kirakira 40 ml/ mnt. Anemia akan menjadi lebih berat lagi apabila
fungsi ginjal memburuk. pada umumnya anemia pada penderita gagal ginjal kronik
disebabkan oleh berkurangnya hemoglobin dalam darah akibat pengambilan darah
untuk pemeriksaan laboratorium atau darah yang terperangkap atau tertinggal di
alat Hemodialisa sehingga produksi eritroprotein juga berkurang selain itu,
asupan pasien yang kurang juga dapat menyebabkan anemia menjadi lebih buruk (
Lewis, 2005 ).
Diet tinggi protein dapat menimbulkan
keseimbangan nitrogen positif atau netral, namun kadang-kadang diet tinggi
protein dengan nilai biologi rendah menimbulkan keseimbangan nitrogen negatif.
Berdasarkan hasil penelitian William, et al., (2004), terdapat hubungan antara
asupan energi dan protein yang rendah dengan menurunnya serum kreatinin,
albumin, dan berat badan pada sekelompok pasien HD
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
CRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
Anatomi Ginjal
Ginjal terletak pada bagian dorsal dari rongga
abdominal pada tiap sisi dari aorta dan
vena kava, tepat pada posisi ventral
terhadap beberapa vertebra lumbal
yang pertama. Ginjal dikatakan retroperitoneal, artinya
terletak di luar rongga peritoneal (Frandson, 1992). Ginjal kanan terletak
sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri karena besarnya lobus hepatis kanan.
Secara mikroskopis, sebuah ginjal dengan potongan memanjang memberi dua
gambaran dua daerah yang cukup jelas. Daerah perifer/tepi yang beraspek gelap
diebut korteks, dan selebihnya yang agak cerah disebut medulla, berbentuk piramid
terbalik. Secara mikroskopis, korteks
yang gelap tampak diselang dengan interval tertentu oleh jaringan medulla yang
berwarna agak cerah, disebut garis medulla (medullary rays). Substansi korteks di sekitar garis medulla
disebut labirin korteks. Medulla tampak lebih cerah dan tampak adanya
jalur-jalur yang disebabkan oleh buluh-buluh kemih yang lurus dan pembuluh
darahnya (Hartono, 1992).
Nabib (1987) menjelaskan secara histologi ginjal
terdiri atas tiga unsur utama, yaitu
(1). Glomerulus, yakni suatu gulungan pembuluh darah kapiler yang masuk melalui aferen, (2). Tubuli sebagai parenkim yang bersama
glomerulus membentuk nefron, suatu unit fungsional terkecil dari ginjal, dan
(3).Interstisium berikut pembuluh-pembuluh darah, limfe dan syaraf.
Ø Mikrostrukrur
Nefron Ginjal
Unit
kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Didalam setiap ginjal terdapat
sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang
sama. Setiap nefron terdiri dari kapsula
bowman, tubulus kontraktus proksimal,
lengkung henle dan tubulus kontraktus distal yang mengosongkan diri ke duktus
pengumpul. Glomerulus bersama Kapsul Bowman juga disebut badan Malpigi.
Jalinan
glomerulus merupakan kapiler-kapiler khusus yang berfungsisebagai penyaring.
Kapiler glomerulus dibatasi oleh sel-sel endotel mempunyai sitoplasma yang
sangat tipis, yang mengandung banyak lubang disebut fenestra dengan diameter
500-1000A0.
Setiap
korpus renal berdiameter 200 μm dan terdiri atas
seberkas kapiler yaitu
glomerulus, dikelilingi oleh kapsul epitel berdinding ganda yang
disebut (Alatas et al., 2002). kapsula
Bowman. Lapisan luar membentuk batas luar korpuskulus renal (lamina
parietalis) yang terdiri atas epitel
selapis gepeng yang ditunjang lamina basalis dan selapis tipis serat retikulin.
Lapisan dalam (lamina visceralis) meliputi kapiler glomerulus yang terdiri dari
sel-sel podosit. Pada kutub urinarius dari korpuskulus renal, epitel gepeng
dari lapisan parietal kapsula Bowman, berhubungan langsung dengan epitel
selindris dari tubulus kontraktus proksimal.
Tubulus ini lebih panjang dari tubulus kontraktus distal dan karenanya
tampak lebih banyak dekat korpuskulus renalis dalam labirin korteks.
Lengkung
henle adalah struktur berbentuk U
terdiri atas ruas tebal descenden dengan struktur yang sangat mirip tubulus
kontraktus proksimal; ruas tipis descenden dan ruas tebal ascenden strukturnya
sangat mirip dengan tubulus kontraktus distal. Lebih kurang sepertujuh dari
semua nefron terletak dekat batas korteks-medula yang disebut dengan
nefronjukstamedula. Nefron lainnya disebut nefron kortikal. Semua nefron turut
serta dalam proses filtrasi, absorpsi dan sekresi.
Bila
ruas tebal ascend lengkung henle menerobos korteks, struktur
histologisnya tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok-kelok dan disebut tubulus kontortus distal, yaitu bagian
terakhir nefron yang dilapisi oleh epitel selapis kuboid. Lumen tubulus distal
lebih besar dan karena sel-sel tubulus distal lebih gepeng dan lebih kecil dari
tubulus proksimal, maka tampak lebih banyak sel dan inti dinding tubulus
distal.
Urin
mengalir dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligens, yang saling
bergabung dan membentuk duktus koligens yang lebih besar dan lebih lurus yaitu
duktus papilaris Bellii yang berangsur-angsur
melebar sewaktu mendekati puncak piramid. Tubulus koligens yang lebih
kecil dilapisi oleh epitel kuboid
dan berdiameter kurang
lebih 40μm. Dalam
medulla, duktus kolagens merupakan komponen utama dari
mekanisme pemekatan urine (Junquera, 1995).
Ø Fungsi Ginjal
Alatas et al
(2002) menjelaskan fungsi ginjal sebagai organ ekskresi. Ginjal memilki fungsi utama dalam menjaga
keseimbangan internal dengan jalan menjaga komposisi cairan ekstraselular.
Untuk melaksakan hal itu sejumlah besar cairan difiltrasi di glomerulus dan
kemudian direabsopsi dan disekresi di sepanjang nefron sehingga zat-zat yang
berguna diserap kembali dan sisa-sisa metabolisme dikeluarkan sebagai urin,
lebih lanjut lagi dijelaskan fungsi ginjal secara keseluruhan, yaitu;
- Fungsi Ekskresi
Ginjal dapat
berfungsi untuk sisa metabolisme protein
(ureum, kalium, fosfat, sulfur anorganik dan asam urat), regulasi volume cairan
tubuh dikarenakan aktivitas anti-duaretik (ADH) yang akan mempengaruhi volume
urin yang akan dikeluarkan tubuh dan ginjal yang bermanfaat dalam menjaga
keseimbangan asam dan basa.
- Fungsi Endokrin
Sebagai
fungsi endokrin ginjal memiliki tiga fungsi, yaitu; 1. Memiliki partisipasi dalam eritropoesis
yaitu sebagai penghasil zat eritropoetin yang dibutuhkan dalam pembentukan sel
darah merah. 2. Pengaturan tekanan darah, hal ini dikarenakan terlepasnya
granula rennin dari jukstaglomerulus yang merangsang angiotensinogen di dalam
darah menjadi angitensi I kemudian diubah kembali menjadi angiotensi II oleh
enzim
konvertase di paru. Hal ini mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi pembuluh
darah perifer dan merangsang kelenjar adrenal untuk memperoduksi
aldosteron.Kombinasi kedua inilah yang mengakibatkan terjadinya hipertensi. 3.
Ginjal bertugas menjaga keseimbangan kalsium dan fosfor dikarenakan ginal
mempunyai peranan dalam metabolism vitamin D.
Dalam melaksanakan fungsinya, ginjal dapat mengalami
gangguan yang mengarah pada kerusakan jaringan ginjal. Beberapa zat yang dapat
merusak ginjal baik struktur maupun
fungsi ginjal, yaitu; 1. Makanan. Pada umumnya makanan yang tercemar racun
kimia, racun tanaman serangga atau makanan yang secara alamiah sudah mengandung
racun seperti jengkol, singkong ataupun jamur yang dapat menyebabkan kerusakan
ginjal. 2. Bahan kimia. Bahan yang mengandung logam seperti Pb (Pb), emas,
kadmium. 3. Obat-obatan antibiotik, obat kemotrapi,
A. Definisi
Gagal ginjal kronis
merupakan kegagalan fungsi ginjal (unit nefron) yang berlangsung pelahan-lahan karena penyebab
berlangsung lama dan menetap yang mengakibatkan penumpukan sisa metabolit
(toksik uremik)sehingga ginjal tidak dapat memenuhi kebutuhan biasa lagi dan
menimbulkan gejala sakit ( Hudak & Gallo, 1996 ).
Gagal ginjal kronis atau
penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan gangguan fungsi renal yang
progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,menyebabkan uremia (retensi
urea dan sampah nitrogen lain dalam darah).
(Brunner & Suddarth, 2001; 1448). Gagal ginjal kronis terjadi dengan
lambat selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, dengan penurunan bertahap
dengan fungsi ginjal dan peningkatan bertahap dalam gejala-gejala, menyebabkan
penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Gagal ginjal kronik adalah
kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan
patologis atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada
tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai
laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², sebagai berikut:
1.
Kerusakan
ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan:
·
Kelainan
patologik
·
Petanda
kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada pemeriksaan pencitraan
2.
Laju
filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3 bulan dengan atau
tanpa kerusakan ginjal
(Sumber: Chonchol, 2005)
B. Etiologi
Berdasarkan data yang
sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada
tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut
glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal
polikistik (10%) (Roesli, 2008).
a.
Glomerulonefritis
Istilah glomerulonefritis digunakan untuk
berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum
memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus (Markum, 1998).
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari
ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal
terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus
eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis (Prodjosudjadi,
2006).
Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin
tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau
keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b.
Diabetes melitus
Menurut American Diabetes
Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.
Diabetes melitus sering
disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai
semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat
bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien
tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak,
buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut
dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi
ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya (Waspadji, 1996).
Pada
diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah pembesaran ukuran
ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan direabsorbsi oleh
tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan dengan efek insulin (eksogen
pada IDDM dan endogen pada NIDDM) yang merangsang reabsorbsi tubuler natrium,
akan menyebabkan volume ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada
diabetes, arteriole eferen, lebih sensitive terhadap pengaruh angiotensin II
dibanding arteriole aferen,dan mungkin inilah yang dapat menerangkan mengapa
pada diabetes yang tidak terkendali tekanan intraglomeruler
naik dan ada hiperfiltrasi glomerus.
Progresifitas kelainan ginjal pada diabetes
militus tipe I (IDDM) dapat dibedakan dalam 5 tahap:
1. Stadium
I (Hyperfiltration-Hypertropy Stage)
Secara
klinik pada tahap ini akan dijumpai: Hiperfiltrasi: meningkatnya laju filtrasi
glomerules mencapai 20- 50% diatas niali normal menurut usia. Hipertrofi
ginjal, yang dapat dilihat melaui foto sinar x. Glukosuria disertai poliuria.
Mikroalbuminuria lebih dari 20 dan kurang dari 200 ug/min.
2. Stadium
II (Silent Stage) Ditandai dengan: Mikroalbuminuria normal atau mendekati
normal (<20ug/min) Sebagian penderita menunjukkan penurunan laju filtrasi
glomerulus ke normal. Awal kerusakan strukturr ginjal.
3. Stadium
III (Incipient Nephropathy Stage) Stadium ini ditandai dengan: Awalnya dijumpai
hiperfiltrasi yang menetap yang selanjutnya mulai menurun Mikroalbuminuria 20
sampai 200ug/min yang setara dengan eksresi protein 30-300mg/24j. Awal
Hipertensi.
4. Stadium
IV (Overt Nephroathy Stage) Stadium ini ditandai dengan: Proteinuria
menetap(>0,5gr/24j). Hipertensi Penurunan laju filtrasi glomerulus.
5. Stadium
V (End Stage Renal Failure) Pada stadium ini laju filtrasi glomerulus sudah
mendekati nol dan dijumpai fibrosis ginjal.Rata-rata dibutuhkan waktu15-17
tahun untuk sampai pada stadium IV dan5-7tahun kemudian akan sampai stadiumV.
Salah satu penyebab gagal
ginjal kronis adalah diabetes melitus, suatu kondisi yang ditandai dengan
tingginya kadar glukosa darah, seiring waktu tingginya kadar gula dalam darah
aka merusak jutaan unit penyaringan kecil dalam setiap ginjal.Pada DM yang
tidak terkontrol akan terjadi komplikasi, komplikasi yang terjadi adalah
nefropati diabetikum. Nefropati diabetikum sendiri terjadi akibat terdapat
gangguan pada fungsi ginjal akibat terdapatnya kebocoran yang memungkinkan
protein lolos dan bercampur dengan air seni. Kondisi ini menyebabkan fungsi
penyaringan, pembuangan, dan hormonal ginjal terganggu. Pada DM juga bisa
terjadi penyumbatan pada pembuluh darah halus (glomerulus) ginjal akibat kadar
glukosa darah yang tinggi sedangkan kepekaan sel terhadap insulin menurun, hal
ini menyebabkan secara otomatis tubuh akan langsung membuang kelebihan glukosa
dalam darah melalui urine. Kemudian ginjal harus menyaring glukosa dalam darah
untuk selanjutnya dibuang bersamaan dengan urine tersebut. Ketika pembuluh
darah halus mengalami penyumbatan maka fungsi ginjal dapat terhambat mengingat
fungsi pembuluh darah tersebut adalah menyaring zat-zat racun dari dalam tubuh.
Telah diperkirakan bahwa
30-40% pasien DM tipe 1 akan berkembang menjadi gagal ginjal kronik dalam waktu
15-25 tahun setelah awitan diabetes. Sedangkan untuk DM tipe 2 akan lebih
sedikit insidennya. DM menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai
bentuk dan dapat dibagi menjadi 5 stadium, yaitu :
v STADIUM 1
Terjadi apabila kadar gula
tidak terkontrol, maka glukosa akan dikeluarkan lewat ginjal secara berlebihan.
Keadaan ini membuat ginjal hipertrofi dan hiperfiltrasi. Pasien akan mengalami
poliuria. Perubahan ini diyakini dapat menyebabkan glomerulusklerosis fokal,
yang terdiri dari penebalan difus matriks masangeal dengan bahan eosinofilik
disertai penebalan membrane basalis kapiler. Bila penebalan semakin meningkat
GFR juga akan semakin meningkat, maka anak masuk pada stadium 2.
v STADIUM 2
Ekskresi albumin relative normal (<30mg/24 jam) pada
beberapa penderita mungkin masih terdpat hiperfiltrasi yang mempunyai resiko
lebih tinggi dalam berkembang menjadi nefropati diabetic.
v STADIUM 3
Pada stadium 3 glomerulus dan tubulus sudah mengalami
beberapa kerusakan. Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang menetap
dan terjadi hipertensi. Pada stadium 3 terdapat mikroalbuminuria (30-300mg/24
jam).
v STADIUM 4
Stadium 4 diatandai dengan proteinuria dan penurunan GFR.
Retinopati dan hipertensi hamper selalu ditemui. Stdium 4 difstick positif
proteinuria, ekskresi albumin
>300mg/24 jam.
v STADIUM 5
Stadium 5 adalah stadium akhir ditandai dengan peningkatan
BUN dan Creatinin plasma yang disebabkan oleh penurunan GFR yang cepat. Dialisa
biasanya dimulai ketika GFRnya sudah turun sampai 15ml/mnt.
Mekanisme gagal ginjal kronik akibat DM ada 3 yaitu :
1. Penderita DM memiliki sistem imun yang rendah sehingga mudah
terjadi infeksi pada ginjal.
2. Pada DM terjadi peningkatan VLDL dan kecenderungan pembekuan
darah sehingga akan mendorong terbentuknya makroangiopati yang akan merusak
ginjal.
3. Peningkatan asam amino akibat proteolisis yang akan meningkat
akan menyebebkan hiperfiltrasi pada ginjal sehingga menyebabkan
glomerulosklerosis (Silberngl, 2006).
Mekanisme diabetes dalam merusak
ginjal diawali dengan tingginya kadar gula darah dalam tubuh sehingga bereaksi
dengan protein yang pada akhirnya mengubah struktur dan fungsi sel, termasuk
membrane basal glomerulus. Akibatnya, penghalang protein rusak dan terjadi
kebocoran protein ke urine (albuminuria).
Gejala nefropati
diabetikbaru terasa jika kerusakan ginjal sudah parah yakni ditandai dengan
bengkak pada kaki dan wajah, mual, muntah, lesu, sakit kepala, gatal, sering
cegukan dan mengalami penurunan berat badan. Walaupun gejala komplikasi yang
timbul seringkali tidak khas terdapat cara untuk melakukan deteksi dini yaitu
dengan cara memeriksa urine.
c.
Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan
darah sistolik ≥ 140 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, atau bila
pasien memakai obat antihipertensi (Mansjoer, 2001). Berdasarkan penyebabnya,
hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau
hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan
hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal (Sidabutar, 1998).
d.
Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga
yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid.
Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista
yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh
karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau
penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering
didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal
polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena
sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata
kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah
dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal
polikistik dewasa (Suhardjono, 1998).
Faktor risiko
Faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada
pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur
lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus,
hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga (National Kidney Foundation,
2009).
C. Klasifikasi
Terdapat 5 stadium penyakit
gagal ginjal kronis yang ditentukan melalui penghitungan nilai Glumerular
Filtration Rate (GFR). Untuk menghitung GFR dokter akan memeriksakan sampel
darah penderita ke laboratorium untuk melihat kadar kreatinin dalam darah.
Kreatinin adalah produk sisa yang berasal dari aktivitas otot yang seharusnya
disaring dari dalam darah oleh ginjal yang sehat.
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal
ginjal kronis sebagai berikut :
v
Stadium
1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
v
Stadium
2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
v
Stadium
3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
v
Stadium
4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
v
Stadium
5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Untuk menilai GFR ( Glomelular
Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test ) dapat digunakan dengan
rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = ( 140-umur ) x berat
badan ( kg )
72 x creatini serum
Pada wanita hasil tersebut
dikalikan dengan 0,85
Stadium 1
Seseorang yang berada pada
stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala yang
mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini disebabkan ginjal
tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi 100
persen, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya dalam
stadium 1. Kalaupun hal tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan
diri untuk penyakit lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
Stadium 2
Sama seperti pada stadium
awal, tanda – tanda seseorang berada pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan
gejala yang aneh karena ginjal tetap dapat berfungsi dengan baik. Kalaupun hal
tersebut diketahui biasanya saat penderita memeriksakan diri untuk penyakit
lainnya seperti diabetes dan hipertensi.
Stadium 3
Seseorang yang menderita
GGK stadium 3 mengalami penurunan GFR moderat yaitu diantara 30 s/d 59 ml/min.
dengan penurunan pada tingkat ini akumulasi sisa – sisa metabolisme akan
menumpuk dalam darah yang disebut uremia. Pada stadium ini muncul komplikasi
seperti tekanan darah tinggi (hipertensi), anemia atau keluhan pada tulang.
Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan seperti :
§
Fatique
: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
§
Kelebihan
cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak dapat
lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat
penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah
atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak
cairan yang berada dalam tubuh.
§
Perubahan
pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya kandungan
protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi coklat,
orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa
bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk buang
air kecil di tengah malam.
§
Rasa
sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
§
Sulit
tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
§
Penderita
GGK stadium 3 disarankan untuk memeriksakan diri ke seorang ahli ginjal
hipertensi (nephrolog). Dokter akan memberikan rekomendasi terbaik serta terapi
– terapi yang bertujuan untuk memperlambat laju penurunan fungsi ginjal. Selain
itu sangat disarankan juga untuk meminta bantuan ahli gizi untuk mendapatkan
perencanaan diet yang tepat. Penderita GGK pada stadium ini biasanya akan
diminta untuk menjaga kecukupan protein namun tetap mewaspadai kadar fosfor
yang ada dalam makanan tersebut, karena menjaga kadar fosfor dalam darah tetap
rendah penting bagi kelangsungan fungsi ginjal. Selain itu penderita juga harus
membatasi asupan kalsium apabila kandungan dalam darah terlalu tinggi. Tidak
ada pembatasan kalium kecuali didapati kadar dalam darah diatas normal.
Membatasi karbohidrat biasanya juga dianjurkan bagi penderita yang juga
mempunyai diabetes. Mengontrol minuman diperlukan selain pembatasan sodium
untuk penderita hipertensi.
Stadium 4
Pada stadium ini fungsi
ginjal hanya sekitar 15 – 30 persen saja dan apabila seseorang berada pada
stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu dekat diharuskan menjalani terapi
pengganti ginjal / dialisis atau melakukan transplantasi. Kondisi dimana
terjadi penumpukan racun dalam darah atau uremia biasanya muncul pada stadium ini. Selain itu besar
kemungkinan muncul komplikasi seperti tekanan darah tinggi (hipertensi),
anemia, penyakit tulang, masalah pada jantung dan penyakit kardiovaskular
lainnya.
Gejala yang mungkin dirasakan pada
stadium 4 adalah :
§
Fatique
: rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
§
Kelebihan
cairan : Seiring dengan menurunnya fungsi ginjal membuat ginjal tidak dapat
lagi mengatur komposisi cairan yang berada dalam tubuh. Hal ini membuat
penderita akan mengalami pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah
atau tangan. Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak
cairan yang berada dalam tubuh.
§
Perubahan
pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan adanya kandungan
protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami perubahan menjadi coklat,
orannye tua, atau merah apabila bercampur dengan darah. Kuantitas urin bisa
bertambah atau berkurang dan terkadang penderita sering trbangun untuk buang
air kecil di tengah malam.
§
Rasa
sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal berada dapat
dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah ginjal seperti
polikistik dan infeksi.
§
Sulit
tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur disebabkan
munculnya rasa gatal, kram ataupunrestless legs.
§
Nausea
: muntah atau rasa ingin muntah.
§
Perubahan
cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang dikonsumsi tidak terasa
seperti biasanya.
§
Bau
mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi melalui bau
pernafasan yang tidak enak.
§
Sulit
berkonsentrasi
Stadium 5 (gagal ginjal
terminal)
Pada level ini ginjal
kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja secara optimal. Untuk itu
diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau transplantasi agar
penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium
5 antara lain :
§
Kehilangan
napsu makan
§
Nausea.
§
Sakit
kepala.
§
Merasa
lelah.
§
Tidak
mampu berkonsentrasi.
§
Gatal
– gatal.
§
Urin
tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
§
Bengkak,
terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
§
Keram
otot
§
Perubahan
warna kulit
D. Prognosis
Pada penyakit gagal ginjal
dini (mikro albuminuria)sudah mempunyai prognostik morbiditas dan mortalitas
kardio vaskuler. Dengan memberatnya kelainan ginjal, disertai dengan penurunan
fungsi ginjal, prognosis terbukti semakin buruk,menuju gagal ginjal yang
memerlukan dialisis, komplikasi organ target yang mengurangi kualitas hidup dan
meningkatkan angka kematian ( Suhardjono, 2001 ).
E. Patofisiologi
Penyebab yang
mendasari CKD bermacam-macam seperti penyakit glomerulus baik primer maupun
sekunder, penyakit vaskular, infeksi, nefritis interstisial, obstruksi saluran
kemih. Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan 2 mekanisme kerusakan :
(1) mekanisme pencetus spesifik yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti
kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulo nefritis, atau pajanan zat
toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) mekanisme kerusakan
progresif yang ditandai dengan adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron yang
tersisa.
Ginjal kita
memiliki 1 juta nefron, dan masing – masing memiliki kontribusi terhadap total
GFR. Pada saat terjadi renal injury karena etiologi seperti yang telah
dijelaskan di atas, pada awalnya ginjal masih memiliki kemampuan untuk
mempertahankan GFR. Namun pada akhirnya nefron sehat yang tersisa ini akan
mengalami kegagalan dalam mengatur autoregulasi tekanan glomerular, dan akan
menyebabkan hipertensi sistemik dalam glomerulus. Peningkatan tekanan
glomerulus ini akan menyebabkan hipertrofi nefron yang sehat sebagai
mekanisme kompensasi. Pada tahap ini akan terjadi poliuria, yang bisa
menyebabkan dehidrasi dan hiponatremia akibat ekskresi Na melalui urin
meningkat. Peningkatan tekanan glomerulus ini akan menyebabkan proteinuria.
Derajat proteinuria sebanding dengan tingkat progresi dari gagal ginjal.
Reabsorpsi protein pada sel tubuloepitelial dapat menyebabkan kerusakan
langsung terhadap jalur lisosomal intraselular, meningkatkan stres oksidatif,
meningkatkan ekspresi lokal growth faktor, dan melepaskan faktor kemotaktik
yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi dan fibrosis tubulointerstitiel
melalui pengambilan dan aktivasi makrofag.
Inflamasi
kronik pada glomerulus dan tubuli akan meningkatkan sintesis matriks
ektraseluler dan mengurangi degradasinya, dengan akumulasi kolagen
tubulointerstitiel yang berlebihan. Glomerular sklerosis, fibrosis
tubulointerstitiel, dan atropi tubuler akan menyebabkan massa ginjal yang sehat
menjadi berkurang dan akan menghentikan siklus progresi penyakit oleh
hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron.
Kerusakan
struktur ginjal tersebut akan menyebabkan kerusakan fungsi ekskretorik maupun
non-ekskretorik ginjal. Kerusakan fungsi ekskretorik ginjal antara lain
penurunan ekskresi sisa nitrogen, penurunan reabsorbsi Na pada tubuli,
penurunan ekskresi kalium, penurunan ekskresi fosfat, penurunan ekskresi
hidrogen.
Kerusakan
fungsi non-ekskretorik ginjal antara lain kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca,
menyebabkan penurunan produksi eritropoetin (EPO), menurunkan fungsi insulin,
meningkatkan produksi lipid, gangguan sistem imun, dan sistem reproduksi. Angiotensin
II memiliki peran penting dalam pengaturan tekanan intraglomerular. Angiotensin
II diproduksi secara sistemik dan secara lokal di ginjal dan merupakan
vasokonstriktor kuat yang akan mengatur tekanan intraglomerular dengan cara
meningkatkan irama arteriole efferent. Angiotensin II akan memicu stres
oksidatif yang pada akhirnya akan meningkatkan ekspresi sitokin, molekul adesi,
dan kemoaktraktan, sehingga angiotensin II memiliki peran penting dalam
patofisiologi CKD.
Gangguan
tulang pada CKD terutama stadium akhir disebabkan karena banyak sebab, salah
satunya adalah penurunan sintesis 1,25-dihydroxyvitamin D atau kalsitriol, yang
akan menyebabkan kegagalan mengubah bentuk inaktif Ca sehingga terjadi
penurunan absorbsi Ca. Penurunan absorbsi Ca ini akan menyebabkan hipokalsemia
dan osteodistrofi. Pada CKD akan terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang
terjadi karena hipokalsemia, hiperfosfatemia, resistensi skeletal terhadap PTH.
Kalsium dan kalsitriol merupakan feedback negatif inhibitor, sedangkan
hiperfosfatemia akan menstimulasi sintesis dan sekresi PTH.
Karena
penurunan laju filtrasi glomerulus, maka ginjal tidak mampu untuk
mengekskresikan zat – zat tertentu seperti fosfat sehingga timbul
hiperfosfatemia. Hiperfosfatemia akan menstimulasi FGF-23, growth faktor ini
akan menyebabkan inhibisi 1- α hydroxylase. Enzim ini digunakan dalam
sintesis kalsitriol. Karena inhibisi oleh FGF-23 maka sintesis kalsitriol pun
akan menurun. Akan terjadi resistensi terhadap vitamin D. Sehingga feedback
negatif terhadap PTH tidak berjalan. Terjadi peningkatan hormon parathormon.
Akhirnya akan timbul hiperparatiroidisme sekunder. Hiperparatiroidisme sekunder
akan menyebabkan depresi pada sumsum tulang sehingga akan menurunkan pembentukan
eritropoetin yang pada akhirnya akan menyebabkan anemia. Selain itu
hiperparatiroidisme sekunder juga akan menyebkan osteodistrofi yang
diklasifikasikan menjadi osteitis fibrosa cystic, osteomalasia, adinamik bone
disorder, dan mixed osteodistrofi. Penurunan ekskresi Na akan menyebabkan
retensi air sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan oedem, hipertensi.
Penurunan ekskresi kalium juga terjadi terutama bila GFR < 25 ml/mnt,
terlebih pada CKD stadium 5. Penuruan ekskresi ini akan menyebabkan hiperkalemia
sehingga meningkatkan resiko terjadinya kardiak arrest pada pasien.
Asidosis
metabolik pada pasien CKD biasanya merupakan kombinasi adanya anion gap yang
normal maupun peningkatan anion gap. Pada CKD, ginjal tidak mampu membuat
ammonia yang cukup pada tubulus proksimal untuk mengekskresikan asam endogen ke
dalam urin dalam bentuk ammonium. Peningkatan anion gap biasanya terjadi pada
CKD stadium 5. Anion gap terjadi karena akumulasi dari fosfat, sulfat, dan
anion – anion lain yang tidak terekskresi dengan baik. Asidosis metabolik pada
CKD dapat menyebabkan gangguan metabolisme protein. Selain itu asidosis
metabolic juga merupakan salah satu faktor dalam perkembangan osteodistrofi
ginjal.
Pada CKD
terutama stadium 5, juga dijumpai penurunan ekskresi sisa nitrogen dalam tubuh.
Sehingga akan terjadi uremia. Pada uremia, basal urea nitrogen akan meningkat,
begitu juga dengan ureum, kreatinin, serta asam urat. Uremia yang bersifat
toksik dapat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mengenai sistem saraf perifer
dan sistem saraf pusat. Selain itu sindrom uremia ini akan menyebabkan
trombositopati dan memperpendek usia sel darah merah. Trombositopati akan
meningkatkan resiko perdarahan spontan terutama pada GIT, dan dapat berkembang
menjadi anemia bila penanganannya tidak adekuat. Uremia bila sampai di kulit
akan menyebabkan pasien merasa gatal – gatal.
Pada CKD akan
terjadi penurunan fungsi insulin, peningkatan produksi lipid, gangguan sistem
imun, dan gangguan reproduksi. Karena fungsi insulin menurun, maka gula darah akan
meningkat. Peningkatan produksi lipid akan memicu timbulnya aterosklerosis,
yang pada akhirnya dapat menyebabkan gagal jantung.
Anemia pada
CKD terjadi karena depresi sumsum tulang pada hiperparatiroidisme sekunder yang
akan menurunkan sintesis EPO. Selain itu anemia dapat terjadi juga karena masa
hidup eritrosit yang memendek akibat pengaruh dari sindrom uremia. Anemia dapat
juga terjadi karena malnutrisi.
F. Tanda Dan Gejala
Penurunan fungsi ginjal
akan mengakibatkan berbagai manifesotasi klinik mengenai dihampir semua sistem
tubuh manusia, seperti:
ü
Gangguan
pada Gastrointestinal
Dapat berupa anoreksia,
nausea, muntah yang dihubungkan dengan terbentuknya zat toksik (amoniak, metal
guanidin) akibat metabolisme protein yang terganggu oleh bakteri usus sering
pula faktor uremikum akibat bau amoniak dari mulut. Disamping itu sering timbul
stomatitis, cegukan juga sering yang belum jelas penyebabnya. Gastritis erosif
hampir dijumpai pada 90 % kasus Gagal Ginjal Kronik, bahkan kemungkinan terjadi
ulkus peptikum dan kolitis uremik.
ü
Kulit
Kulit berwarna pucat, mudah
lecet, rapuh, kering, timbul bintik-bintik hitam dan gatal akibat uremik atau
pengendapan kalsium pada kulit.
ü
Hematologi
Anemia merupakan gejala yang hampr selalu
ada pada Gagal Ginjal Kronik. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal tanpa
disertai anemia perlu dipikirkan apakah suatu Gagal Ginjal Akut atau Gagal
Ginjal Kronik dengan penyebab polikistik ginjal yang disertai polistemi.
Hemolisis merupakan sering timbul anemi, selain anemi pada Gagal Ginjal Kronik
sering disertai pendarahan akibat gangguan fungsi trombosit atau dapat pula
disertai trombositopeni. Fungsi leukosit maupun limposit dapat pula terganggu
sehingga pertahanan seluler terganggu, sehingga pada penderita Gagal Ginjal Kronik
mudah terinfeksi, oleh karena imunitas yang menurun.
ü
Sistem
Saraf Otot
Penderita sering mengeluh tungkai bawah
selalu bergerak-gerak (restlesslessleg syndrome), kadang tersa terbakar pada
kaki, gangguan syaraf dapat pula berupa kelemahan, gangguan tidur, gangguan
konsentrasi, tremor, kejang sampai penurunan kesadaran atau koma.
ü
Sistem
Kardiovaskuler
Pada gagal ginjal kronik hampir selalu
disertai hipertensi, mekanisme terjadinya hipertensi pada Gagal Ginjal Kronik
oleh karena penimbunan garam dan air, atau sistem renin angiostensin aldosteron
(RAA). Sesak nafas merupakan gejala yang sering dijumpai akibat kelebihan
cairan tubuh, dapat pula terjadi perikarditis yang disertai efusi perikardial.
Gangguan irama jantung sering dijmpai akibat gangguan elektrolit.
ü
Sistem
Endokrin
Gangguan seksual seperti penurunan
libido, ion fertilitas sering dijumpai pada Gagal Ginjal Kronik, pada wanita
dapat pula terjadi gangguan menstruasi sampai aminore. Toleransi glukosa sering
tergangu paa Gagal Ginjal Kronik, juga gangguan metabolik vitamin D.
ü
Gangguan
lain
Akibat hipertiroid sering terjadi
osteoporosis, osteitis, fibrasi, gangguan elektrolit dan asam basa hampir
selalu dijumpai, seperti asidosis metabolik, hiperkalemia, hiperforfatemi,
hipokalsemia.
Gambaran klinik gagal
ginjal kronik berat disertai sindrom azotemia sangat kompleks, meliputi
kelainan-kelainan berbagai organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna,
mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri dan kelainan
kardiovaskular (Sukandar, 2006).
G. Pemeriksaan Penunjang
Ø Urine
-
Volume
: Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar (anuria)
-
Warna
: Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya
darah, HB, mioglobin.
-
Berat
jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal berat).
-
Osmolalitas
: Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio urine/serum
sering 1:1
-
Klirens
keratin : Mungkin agak menurun
-
Natrium
: Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
-
Protein
: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan glomerulus
bila SDM dan fragmen juga ada.
Ø Darah
-
BUN
/ Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16
mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
-
Hitung
darah lengkap : Ht : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang ari 78 g/dL
-
SDM
: Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
-
GDA
: pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan
kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir
katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
-
Natrium
Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal (menunjukan
status dilusi hipernatremia).
-
Kalium
: Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan
-
EKG
mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
-
Magnesium/Fosfat
: Meningkat
-
Kalsium
: Menurun
-
Protein
(khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein
melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis
karena kurang asam amino esensial.
-
Osmolalitas
Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
Ø Piolegram Intravena
-
Piolegram
Retrograd : Menunujukkan abnormallitas pelvis ginjal dan ureter.
-
Arteriogram
Ginjal : Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular massa.
Ø Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung
kemih, refluks ke dalam ureter, terensi.
Ø
Ultrasono
Ginjal :
Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran
perkemihan bagian atas.
Ø
Biopsi
Ginjal :
Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histoligis.
Ø
Endoskopi
Ginjal, Nefroskopi :
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan
pengangkatan tumor selektif.
EKG
: Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
Foto
Kaki, Tengkorak, Kolmna Spiral dan Tangan : Dapat menunjukan demineralisasi.
H. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin
timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain :
1. Hiperkalemia
2. Perikarditis
3. Hipertensi
4. Anemia
5. Penyakit tulang
(Smeltzer & Bare, 2001)
I.
Penatalaksanaan
1. Terapi
konservatif
Tujuan
dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia,
memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan
elektrolit (Sukandar, 2006).
a. Peranan
diet
Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk
mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat
merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
b. Kebutuhan
jumlah kalori
Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus
adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif
nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi.
c. Kebutuhan
cairan
Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus
adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari.
d. Kebutuhan
elektrolit dan mineral
Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat
individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal
disease).
2. Terapi
simtomatik
a. Asidosis
metabolik
Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan
serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik
dapat diberikan suplemen alkali.
Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila
pH ≤ 7,35 atau serum bikarbonat ≤ 20 mEq/L.
b. Anemia
Transfusi darah misalnya Paked Red
Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan
efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan
kematian mendadak.
c. Keluhan gastrointestinal
Anoreksi, cegukan, mual dan muntah,
merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini
merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan
gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus.
Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan
obat-obatan simtomatik.
d. Kelainan kulit
Tindakan yang diberikan harus tergantung
dengan jenis keluhan kulit.
e. Kelainan neuromuskular
Beberapa terapi pilihan yang dapat
dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau
operasi subtotal paratiroidektomi.
f. Hipertensi
Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
g. Kelainan sistem kardiovaskular
Tindakan yang diberikan tergantung dari
kelainan kardiovaskular yang diderita.
h. Terapi pengganti ginjal
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada
penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit.
Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).
a.
Hemodialisis
Tindakan terapi
dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan
malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK
yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan
terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang
termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan
diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN)
> 120 mg% dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5
dan 8 mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar,
2006).
Hemodialisis di
Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di
banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen
darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney).
Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai
sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal (Rahardjo, 2006).
1. Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah
populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) di pusat ginjal
di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak
dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien yang telah menderita
penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien
dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih
cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai co-morbidity dan co-mortality.
Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi
untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal
(Sukandar, 2006).
2. Transplantasi ginjal
Transplantasi ginjal
merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program
transplantasi ginjal, yaitu:
a.
Cangkok
ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal
ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah.
b.
Kualitas
hidup normal kembali
c.
Masa hidup
(survival rate) lebih lama
d.
Komplikasi
(biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif
untuk mencegah reaksi penolakan
e.
Biaya lebih
murah dan dapat dibatasi
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN CKD
A. PENGKAJIAN
Pengkajian
fokus yang disusun berdasarkan pada Gordon dan mengacu pada Doenges (2001),
serta Carpenito (2006) sebagai berikut :
1.
Demografi.
Penderita
CKD kebanyakan berusia diantara 30 tahun, namun ada juga yang mengalami CKD
dibawah umur tersebut yang diakibatkan oleh berbagai hal seperti proses
pengobatan, penggunaan obat-obatan dan sebagainya. CKD dapat terjadi pada
siapapun, pekerjaan dan lingkungan juga mempunyai peranan penting sebagai
pemicu kejadian CKD. Karena kebiasaan kerja dengan duduk / berdiri yang terlalu
lama dan lingkungan yang tidak menyediakan cukup air minum / mengandung banyak
senyawa / zat logam dan pola makan yang tidak sehat.
2.
Riwayat
penyakit yang diderita pasien sebelum CKD seperti DM,glomerulonefri tis,
hipertensi, rematik, hiperparatiroidisme, obstruksi saluran kemih, dan traktus
urinarius bagian bawah juga dapat memicu kemungkinan terjadinya CKD.
3.
Pengkajian
pola fungsional Gordon
a.
Pola
persepsi dan pemeliharaan kesehatan pasien
Gejalanya
adalah pasien mengungkapkan kalau dirinya saat ini sedang sakit parah. Pasien
juga mengungkapkan telah menghindari larangan dari dokter. Tandanya adalah
pasien terlihat lesu dan khawatir, pasien terlihat bingung kenapa kondisinya
seprti ini meski segala hal yang telah dilarang telah dihindari.
b.
Pola
nutrisi dan metabolik.
Gejalanya
adalah pasien tampak lemah, terdapat penurunan BB dalam kurun waktu 6 bulan.
Tandanya adalah anoreksia, mual, muntah, asupan nutrisi dan air naik atau
turun.
c.
Pola
eliminasi
Gejalanya
adalah terjadi ketidak seimbangan antara output dan input. Tandanya adalah
penurunan BAK, pasien terjadi konstipasi, terjadi peningkatan suhu dan tekanan
darah atau tidak singkronnya antara tekanan darah dan suhu.
d.
Aktifitas
dan latian.
Gejalanya
adalah pasien mengatakan lemas dan tampak lemah, serta pasien tidak dapat
menolong diri sendiri. Tandanya adalah aktifitas dibantu.
e.
Pola
istirahat dan tidur.
Gejalanya
adalah pasien terliat mengantuk, letih dan terdapat kantung mata. Tandanya
adalah pasien terliat sering menguap.
f.
Pola
persepsi dan kognitif.
Gejalanya
penurunan sensori dan rangsang. Tandanya adalah penurunan kesadaran seperti
ngomong nglantur dan tidak dapat berkomunikasi dengan jelas.
g.
Pola
hubungan dengan orang lain.
Gejalanya
pasien sering menghindari pergaulan, penurunan harga diri sampai terjadinya HDR
(Harga Diri Rendah). Tandanya lebih menyendiri, tertutup, komunikasi tidak
jelas.
h.
Pola
reproduksi
Gejalanya
penurunan keharmonisan pasien, dan adanya penurunan kepuasan dalam hubungan.
Tandanya terjadi penurunan libido, keletihan saat berhubungan, penurunan
kualitas hubungan.
i.
Pola
persepsi diri.
Gejalanya
konsep diri pasien tidak terpenuhi. Tandanya kaki menjadi edema, citra diri
jauh dari keinginan, terjadinya perubahan fisik, perubahan peran, dan percaya
diri.
j.
Pola
mekanisme koping.
Gejalanya
emosi pasien labil. Tandanya tidak dapat mengambil keputusan dengan tepat,
mudah terpancing emosi.
k.
Pola
kepercayaan
Gejalanya
pasien tampak gelisah, pasien mengatakan merasa bersalah meninggalkan perintah
agama. Tandanya pasien tidak dapat melakukan kegiatan agama seperti biasanya.
4.
Pengkajian
fisik
a.
Penampilan
/ keadaan umum
Lemah,
aktifitas dibantu, terjadi penurunan sensifitas nyeri. Kesadaran pasien dari
compos mentis sampai coma.
b.
Tanda-tanda
vital.
TD
naik, respirasi naik, dan terjadi dispnea, nadi meningkat dan reguler.
c.
Antropometri.
Penurunan
berat badan selama 6 bulan terahir karena kekurangan nutrisi, atau terjadi peningkatan
berat badan karena kelebian cairan.
d.
Kepala
Rambut
kotor, mata kuning / kotor, telinga kotor dan terdapat kotoran telinga, hidung
kotor dan terdapat kotoran hidung, mulut bau ureum, bibir kering dan
pecah-pecah, mukosa mulut pucat dan lidah kotor.
e.
Leher
dan tenggorok : peningkatan kelenjar tiroid, terdapat pembesaran tiroid pada
leher.
f.
Dada
Dispnea
sampai pada edema pulmonal, dada berdebar-debar. Terdapat otot bantu napas,
pergerakan dada tidak simetris, terdengar suara tambahan pada paru (rongkhi
basah), terdapat pembesaran jantung, terdapat suara tambahan pada jantung.
g.
Abdomen
: terjadi peningkatan nyeri, penurunan pristaltik, turgor jelek, perut buncit.
h.
Genital
: kelemahan dalam libido, genetalia kotor, ejakulasi dini, impotensi, terdapat
ulkus.
i.
Ekstremitas.
Kelemahan
fisik, aktifitas pasien dibantu, terjadi edema, pengeroposan tulang, dan Capillary
Refil lebih dari 1 detik.
j.
Kulit
: turgor jelek, terjadi edema, kulit jadi hitam, kulit bersisik dan mengkilat /
uremia, dan terjadi perikarditis.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang
mungkin muncul adalah:
1.
Intoleransi aktivitas b.d
keletihan/kelemahan, anemia, retensi produk sampah dan prosedur dialysis.
2.
Kelebihan volume cairan
b.d penurunan haluan urin, retensi cairan dan natrium.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
b.d intake makanan yang inadekuat (mual,
muntah, anoreksia dll).
4. Ketidak efektifan pola nafas b/d hiperventilasi
5. Risiko
infeksi b.d penurunan daya tahan tubuh primer, tindakan invasive
6. Gangguan
perfusi jaringan b/d suplai O2 jaringan menurun
7. Penurunan
Curah Jantung b/d penurunan COP
8. Kerusakan
integritas kulit b/d peningkatan ureum
9. Nyeri
akut b/d insisi pada lengan
10. Resiko
perdarahan
11. Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas b/d akumulasi secret pada tindakan anestesi (transplantasi
ginjal)
12. Kerusakan
integritas jaringan b/d tindakan hecting
C. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
N
|
Diagnosa
|
Tujuan/KH
|
Intervensi
|
|||
1
|
Ketidakefektifan bersihan jalan
nafas
|
Setelah dilakukan askep ... jam risiko infeksi
terkontrol dg KH:
· Menunjukkan jalan nafas
yang paten
|
Manajemen
jalan nafas
1.
Berikan
O2 ……l/m
2.
Posisikan
klien untuk memaksimalkan ventilasi
3.
Auskultasi
suara nafas, catat adanya suara tambahan
4.
Monitor
status hemodinamik
5.
Monitor
respirasi dan dan statu O2
|
|||
2
|
Pola nafas tidak efektif
b.d hiperventilasi, penurunan energi, kelemahan
|
Setelah
dilakukan askep ..... jam pola nafas klien menunjukkan ventilasi yg adekuat
dg kriteria :
·
Tidak ada dispnea
·
Kedalaman nafas normal
·
Tidak ada retraksi dada / penggunaan otot
bantuan pernafasan
|
Monitor Pernafasan:
1. Monitor irama, kedalaman dan frekuensi pernafasan.
2. Perhatikan pergerakan dada.
3. Auskultasi bunyi nafas
4. Monitor peningkatan ketidakmampuan istirahat, kecemasan dan sesak nafas.
Pengelolaan Jalan Nafas
5. Atur posisi tidur klien untuk maximalkan ventilasi
6. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
7. Monitor status pernafasan dan oksigenasi sesuai kebutuhan
8. Auskultasi bunyi nafas
9. Bersihhkan skret jika ada dengan batuk efektif / suction jika perlu.
|
|||
3
|
Kelebihan volume cairan
b.d. mekanisme pengaturan melemah
|
Setelah
dilakukan askep ..... jam pasien
mengalami keseimbangan cairan dan elektrolit.
Kriteria hasil:
·
Bebas dari edema anasarka, efusi
·
Suara paru bersih
·
Tanda vital dalam batas normal
|
Fluit manajemen:
1. Monitor
status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadi adekuat)
2. Monitor tnada
vital
3. Monitor
adanya indikasi overload/retraksi
4. Kaji daerah
edema jika ada
Fluit monitoring:
5. Monitor
intake/output cairan
6. Monitor serum
albumin dan protein total
7. Monitor RR,
HR
8. Monitor
turgor kulit dan adanya kehausan
9. Monitor warna, kualitas dan BJ urine
|
|||
4
|
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
|
Setelah dilakukan askep
…..jam klien menunjukan status nutrisi adekuat dibuktikan dengan kriteria
hasil
·
BB stabil
·
Tidak terjadi malnutrisi,
·
Tingkat energi adekuat
·
Masukan nutrisi adekuat
|
Manajemen Nutrisi
1. kaji pola
makan klien
2. Kaji adanya
alergi makanan.
3. Kaji makanan
yang disukai oleh klien.
4. Kolaborasi dg
ahli gizi untuk penyediaan nutrisi terpilih sesuai dengan kebutuhan klien.
5. Anjurkan
klien untuk meningkatkan asupan nutrisinya.
6. Yakinkan diet
yang dikonsumsi mengandung cukup serat untuk mencegah konstipasi.
7. Berikan
informasi tentang kebutuhan nutrisi dan pentingnya bagi tubuh klien
Monitor Nutrisi
8. Monitor BB
setiap hari jika memungkinkan.
9. Monitor respon
klien terhadap situasi yang mengharuskan klien makan.
10. Monitor
lingkungan selama makan.
11. Jadwalkan
pengobatan dan tindakan tidak bersamaan dengan waktu klien makan.
12. Monitor
adanya mual muntah.
13. Monitor
adanya gangguan dalam proses mastikasi/input makanan misalnya perdarahan,
bengkak dsb.
14. Monitor
intake nutrisi dan kalori
|
|||
6
|
Resiko infeksi b/d
tindakan invasive, penurunan daya tahan tubuh primer
|
Setelah dilakukan askep ... jam risiko infeksi
terkontrol dg KH:
·
Bebas dari tanda-tanda infeksi
·
Angka leukosit normal
·
Pasien mengatakan tahu
tentang tanda-tanda dan gejala infeksi
|
Kontrol
infeksi
1. Ajarkan
tehnik mencuci tangan
2. Ajarkan
tanda-tanda infeksi
3. laporkan
dokter segera bila ada tanda infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Cuci tangan sebelum dan sesudah merawat ps
6. Tingkatkan masukan gizi yang cukup
7. Anjurkan istirahat cukup
8. Pastikan
penanganan aseptic daerah IV
9. Berikan
PEN-KES tentang risk infeksi
Proteksi
infeksi:
10. Monitor tanda
dan gejala infeksi
11. Pantau hasil
laboratorium
12. Amati faktor-faktor yang bisa meningkatkan infeksi
13. Monitor Vital
Sign
|
|||
Intoleransi
aktivitas b.d ketidakseimbangan suplai & kebutuhan O2
|
Setelah
dilakukan askep ... jam Klien dapat menoleransi aktivitas & melakukan ADL
dgn baik
Kriteria Hasil:
·
Berpartisipasi dalam aktivitas fisik dgn TD, HR, RR yang sesuai
·
Warna kulit normal,hangat&kering
·
Memverbalisasikan pentingnya aktivitas
secara bertahap
·
Mengekspresikan pengertian pentingnya keseimbangan latihan &
istirahat
·
Peningkatan toleransi
aktivitas
|
NIC: Toleransi aktivitas
1. Tentukan penyebab intoleransi aktivitas & tentukan apakah penyebab
dari fisik, psikis/motivasi
2. Kaji kesesuaian aktivitas&istirahat klien sehari-hari
3. Peningkatan aktivitas secara bertahap, biarkan klien berpartisipasi dapat
perubahan posisi, berpindah&perawatan diri
4. Pastikan klien mengubah posisi secara bertahap. Monitor gejala
intoleransi aktivitas
5. Ketika membantu klien berdiri, observasi gejala intoleransi spt mual,
pucat, pusing, gangguan kesadaran&tanda vital
6. Lakukan latihan ROM jika klien tidak dapat menoleransi aktivitas
|
||||
Nyeri Akut
|
Setelah
dilakukan askep ... jam Klien dapat menoleransi aktivitas & melakukan ADL
dgn baik
Kriteria Hasil:
·
Mampu
mengontrol nyeri
·
Melaporkan
bahwa nyeri berkurang
·
Mampu
mengenali nyeri
·
Menyatukan
rasa nyaman setelah nyeri berkurang
·
TTV
dalam rentang normal
·
Tidak
mengalami gangguan tidur
|
Pain
Managemen
1.
Lakukan
pengkajian secara komperhensive
2.
Pobservasi
reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
3.
Kurangi
factor prsipitasi nyeri
4.
Kaji
tipe dan sumber nyeri untuk melakukan intervensi
5.
Tingkatkan
istirahat
6.
Monitor
TTV
|
||||
Resiko Perdarahan
|
Setelah
dilakukan askep ... jam Klien dapat menoleransi aktivitas & melakukan ADL
dgn baik
Kriteria Hasil:
1.
Tidak
terjadi perdarahan
|
Bleeding reduction
1.
Mengkaji
kehilangan darah
2.
Melakukan
tindakan penghentian perdarahan
3.
Menghitung
jumlah kassa yang telah digunakan
4.
Monitor
TTV
|
||||
Kerusakan integritas
jaringan
|
Setelah
dilakukan askep ... jam Klien dapat menoleransi aktivitas & melakukan ADL
dgn baik
Kriteria Hasil:
Tissue integrity skin and
mucous membrane
|
Wound
Care
1.
Monitor
kulit adanya kemerahan
2.
Observasi
luka :
a.
Lokasi
b.
Dimensi
c.
Warna
d.
Karakteristik
e.
Tanda-tanda
infeksi local
3.
Mempertahankan
teknik aseptic salama tindakan
4.
Memberikan
dressing yang sesuai dengan luka
5.
Monitor
TTV
6.
Kolaborasi
diet untuk klien
|
||||
HEMODIALISIS
A.
Definisi
Hemodialisis adalah suatu proses memisahkan sisa metabolisme yang
tertimbun dalam darah dan mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit juga asam
basa melalui sirkulasi ekstrakorporeal dengan menggunakan ginjal buatan.
Beberapa aspek yang mempunyai hubungan erat dengan masalah keperawatan antara
lain : Ginjal buatan, Dialisat, Pengolahan Air, AksesDarah, Antikoagulan,
tekhnik Hemodialisa, Perawatan Pasien Hemodialisa, Kompliokasi akut hemodialisa
dan pengelolaannya, peranan perawat yang bekerja di luar HD (ruang perawatan
biasa)
1. Ginjal Buatan
Suatu alat yang digunakan untuk mengeluarkan sisa metabolisme tubuh,
bila fungsi kedua ginjal sudah tidak memadai lagi, mengatur keseimbangan cairan
dan elektrolit, mengeluarkan racun-racun atau toksin yang merupakan komplikasi
dari Gagal Ginjal. Sedangkan fungsi hormonal/ endokrin tidak dapat diambil alih
oleh ginjal buatan. Dengan demikian ginjal buatan hanya berfungsi sekitar 70-80
% saja dari ginjal alami yang normal.
Macam-macam ginjal buatan :
a. Paraller-Plate Diyalizer
Ginjal pertama kali ditemukan dan sudah tidak dipakai lagi, karena
darah dalam ginjal ini sangat banyak sekitar 1000 cc, disamping cara
menyiapkannya sangat sulit dan membutuhkan waktu yang lama.
b. Coil Dialyzer
Ginjal buatan yang sudah lama dan sekarang sudah jarang dipakai
karena volume darah dalam ginjal buatan ini banyak sekitar 300 cc, sehingga
bila terjadi kebocoran pada ginjal buatan darah yang terbuang banyak. Ginjal
ini juga memerlukan mesin khusus, cara menyiapkannya juga memerlukan waktu yang
lama.
c. Hollow Fibre Dialyzer
Ginjal buatan yang sangat banyak saat ini karena volume darah dalam
ginjal buatan sangat sedikit sekitar 60-80 cc, disamping cara menyiapkannya
mudah dan cepat.
2. Dialisat
Adalah cairan yang terdiri dari air, elektrolit dan zat-zat lain
supaya mempunyai tekanan osmotik yang sama dengan darah.
Fungsi Dialisat pada dialisit:
a. Untuk mengeluarkan dan menampung cairan dan sisa metabolisme
b. Untuk mencegah kehilangan zat-zat vital dari tubuh selama dialisa
Tabel perbandingan darah dan dialisat :
Komponen elektrolit
|
Darah
|
Dialisat
|
Natrium/sodium
|
136mEq/L
|
134mEq/L
|
Kalium/potassium
|
4,6mEq/L
|
2,6mEq/L
|
Kalsium
|
4,5mEq/L
|
2,5mEq/L
|
Chloride
|
106mEq/L
|
106mEq/L
|
Magnesium
|
1,6mEq/L
|
1,5mEq/L
|
Ada 3 cara penyediaan cairan dialisat :
a. Batch Recirculating
Cairan dialisat pekat dicampur air yang sudah diolah dengan
perbandingan 1 : 34 hingga 120 L
dimasukan dalam tangki air kemudian mengalirkannya ke ginjal buatan dengan
kecepatan 500 – 600 cc/menit
b. Batch Recirculating/single pas
Hampir sama dengan cara batch recirculating hanya sebagian langsung
buang.
c. Proportioning Single pas
Air yang sudah diolah dan dialisat pekat dicampus secara konstan
oleh porpropotioning dari mesin cuci darah dengan perbandingan air : dialisat =
34 : 1 cairan yang sudah dicampur tersebut dialirkan keginjal buatan secara
langsung dan langsung dibuang, sedangkan kecepatan aliran 400 – 600 cc/menit
3. Pengolahan air/ Water Treatment
Tujuan :
a. Mencegah infeksi nosokongial (sepsis
b. Mencegah intoksikasi (trace element).
Air untuk mencampur dialisat pekat tidak
perlu steril tetapi seharusnya tidak mengandung zat/elektrolit, mikroorganisme
dan benda-benda asing lainnya. Pada kenyataannya kandungan air biasanya cukup
bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh letak geografis jenis sumber air, musim,
sistim instalasi dan penjernihan air.
4. Akses Darah
Hemodialisme akan efektif jika dialisme dilakukan sekitar 2-6
jam/minggu pada pasien baru, sedangkan pada pasien yang sudah stabil dan
menjalani kronik hemodialisa sekitar 6 – 18 jam /minggu. Untuk mendapatkan
aliran darah yang besar ( sekitar 200 -300 cc/menit) selama 2jam sangatlah
sulit. Biasannya pada pasien akut kita lakukan pada vena vemoralis, sehingga
dapat diperoleh aliran darah yang besar. Pada pasien dengan program HD berkala
yaitu 2 -3 kali/minggu harus disiapkan penyambungan pembuluha darah arteri dan
vena.
Ada 2 macam cara :
a. Pintas (shunt) eksternal
Kanula khusus yang mengalirkan darah arteri
langsung ke vena yang berdekatan. Kanula arteri dan vena dihubungan dengan
konektor sehingga pada saat dialisa konektor dibuka lalu kanula arteri
dihubungkan ke slang yang mengalirkan darah ke ginjal buatan dan kanula vena
untuk memasukkan darah kembali ketubuh penderita. Komplikasi yang sering terjadi,
seperti pembekuan darah infeksi, oleh karena itu pemakaian pintas ini biasanya
dibatasi lama pamakaiannya, paling lama 6 bulan. Hal ini jarang dilakukan lagi.
b. Fistula Arteriovenisa Interna
Fistula Arteriovenisa Interna pertama kali
dibuat oleh Brescia dan Cimino pada tahun 1966 yaitu menghubungan arteri dan
vena yang berdekatan dengan cara operatif, biasanya dilakukan pada daerah
tangan. Aliran dan tekanan darah dalam vena akan meningkat sehingga menyebabkan
pelebaran lumen vena dan arterialisasi vena secara perlahan-lahan. Dengan
demikian memudahkan penusukan pembuluh darah sesuai dengan yang diharapkan.
c. Antikoagulan
Selama hemodialisa berlangsung diperlukan
antikoagulan agar tidak terjadi pembekuan darah, yang biasanya digunakan
heparin.
Pemakaian heparin ini dikenal dengan heparinisasi, macam
heparinisasi :
1) Heparinisasi sistemik
Digunakan pada hemodialisa kronik yang
stabil. Bolus heparin 1000 – 5000 unit tiap jam. Pada jam terakhir tidak
diberikan lagi.
2) Heparinisasi regional(sedang haid) bolus heparin tetap diberikan
sebanyak 1000 – 5000 unit, selanjutnya diinfuskan sebelum ginjal buatan dan
protamine sulfat, sesudah ginjal buatan, sebelum darah masuk kedalam tubuh
penderita. Jadi heparin diberikan pada sirkulasi ekstrakorporeal saja.
3) Heparinisasi minimal
Diberikan hanya 500 unit saja pada awal tusukan karena penderita
cenderung berdarah selanjutnya tidak diberikan lagi.
5. Teknik hemodialisa
Sebelum berbicara tentang tekhnik
hemodialisa terlebih dahulu menjelaskan beberapa istilah :
a. Sirkulasi ekstrakorporeal
b. Sirkulasi diluar tubuh selama terjadi hemodialisa.
c. Sirkulasi sistemik
d. Sirkulasi dalam tubuh
e. Selaput semipermiabel
f. Selaput yang sangat tipis mempunyai pori-pori halus, hanya dapa
dilihat dengan mikroskop.
g. Blood pump (Roller Pump)
h. Pompa mesin hemodialisa yang gunanya mengalirkan darah dari
sirkulasi sistemik ke sirkulasi ekstrakorporea dan kembali lagi ke sirkulasi
sistemik selama proses hemodialisa.
i. Blood Lines, selang darah yang mengalirkan darah dari tubuh
penderita ke dyalizer disebut arteria blood lines/inlet, sedangkan selang yang
mengalirkan darah dari dyalizer ke tubuh penderita disebut venous blood
line/outlet.
6. Persiapan mesin dan perangkat HD
a. Pipa pembuangan sudah masuk dalam saluran pembuangan
b. Sambungkan kabel mesin dengan stop kontak
c. Hidupkan mesin ke rinse selama 15-30 menit
d. Pindahkan ke posisi dialyze lalu sambungkan slang dialisat ke
jaringan tempat dialisat yang telah disiapkan
e. Tunggu sampai lampu hijau
f. Tes conductivity dan temperatur
g. Gantungkan saline normal sebanyak 4 flatboth yang telah diberikan
heparin sebanyak 25-30 unit dalam masing-masing flatboth
h. Siapkan ginjal buatan sesuai dengan kebutuhan pas
i. Siapkan blood lines dan AV fiskula sebanyak2
j. Ginjal buatan dan blood lines diisi saline normal (primin)
k. Sambungkan dialisatelines pada ginjal buatan
l. Sambil mempersiapkan pasien slang inlet dan outlet disambungkan lalu
jalankan blood pump (sirkulasi tertutup).
7. Persiapan Penderita :
Indikasi hemodialisa
a. Segera/ indikasi mutlak : over hidrasi atau edema paru, hiperkalemi,
aliguri berat atau anuria, asidosis, hipertensi maligma.
b. Dini/ profilaksis : gejala uremia (mual muntah) perubahan mental,
penyakit tulang, gangguan pertumbuhan dan seks, perubahan kualitas hidup.
Bila
penderita baru yang datang di ruang HD, sebelum kita melakukan HD terlebih
dahulu periksa kembali hasil-hasil pemeriksaan yang penting (Hb, hematokrit,
ureum, kreatinin, dan HbsAg), hal ini perlu untuk menentukan tindak lanjut
sperlu untuk menentukan tindak lanjut suatu HD.
Langkah-langkah HD
a. Timbang dan catat BB
b. Ukur dan catat tekanan darah (dapat digunakan untuk
menginterpretasikan kelebihan cairan)
c. Tentukan akses darah yang akan ditusuk.
d. Bersihkan daerah yang akan ditusuk dengan betadine 10% lalu alcohol
70% kemudian ditutup pakai duk steril.
e. Sediakan alat-alat yang steril didalam bak spuit kecil :spuit 2,5cc
sebanyak 1, spuit 1 cc 1 buah, mangkok kecil berisi saline 0,9% dan kasa steri
f. Sediakan obat-obatan yang perlu yaitu lidonestdan heparin.
g. Pakai masker dan sarung tangan steril.
h. Lakukan anestesi local didaerah akses darah yang akan ditusu
i. Tusuk dengan AV fistula lalu berikan heparin sebanyak 2000unit pada
inlet sedangkan outlet sebanyak 1000 unit.
j. Siap sambungkan ke sirkulasi tertutup yang telah disediakan.
k. Aliran darah permulaan sampai 7 menit 75 ml/menitkemudian dinaikkan
perlahan sampai 200 ml/menit.
l. Tentukan TMP sesuai dengan kenaikkan berat badan.
m. Segera ukur kemabali tekanan darah, nadi, pernapasan, akses darah
yang digunakan dicatat dalam status yang telah tersedia.
8. Perawatan pasien Hemodialisa
Terbagi 3 yaitu ;
a. Perawatan sebelum hemodialisa
Ø Mempersiapkan perangkat HD
Ø Mempersiapkan mesin HD
Ø Mempersiapkan cara pemberian heparin
Ø Mempersiapkan pasien baru dengan memperhatikan factor
BioPsikososial, agar penderita dapat
bekerja sama dalam hal program HD
Ø Mempersiapkan akses darah
Ø Menimbang berat bada, mengukur tekanan darah, nadi, pernapasan
Ø Menentukan berat badan kering
Ø Mengambil pemeriksaan rutin dan sewaktu
b. Perawatan Selama Hemodialisa
Selama HD berjalan ada 2 hal pokok yang diobservasi yaitu penderita
dan mesin HD
1) Observasi terhadap pasien HD
Tekanan darah, nadi diukur setiap 1 jam lalu
dalam status
Dosis pemberian heparin dicatat setiap 1 jam
dalam status
Cairan yang masuk perparenteral maupun
peroral dicatat jumlahnya dalam status
Akses darah dihentikan
2) Observasi terhadap mesin HD
Kecepan aliran darah /Qb, kecepatan aliran
dialisat/Qd dicatat setiap 1 jam
Tekanan negatif, tekanan positif, dicatat
setiap jam
Suhu dialisa, conductivity diperhatikan bila
perlu diukur
Jumlah cairan dialisa, jumlah air
diperhatikan setiap jam
Ginjal buatan, slang darah, slang dialisat
dikontrol setiap 1 jam.
c. Perawatan sesudah Hemodialisa
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan yaitu cara menghentikan
HD pada pasien dan mesin HD
1) Cara mengakhiri HD pada pasien
Ø Ukur tekanan darah nadi sebelum slang inlet dicabut
Ø Ambil darah untuk pemeriksaan laboratorium
Ø Kecilkan aliran darah menjadi 75 ml/menit
Ø Cabut AV fistula intel/ lalu bilas slang inlet memakai saline normal
sebanyak 50-100 cc, lalu memakai udara hingga semua darah dalam sirkulasi
ekstrakorporeal kembali ke sirkulasi sistemik
Ø Tekan pada bekas tusukan inlet dan outlet selama 5-10 menit, hingga
darah berhenti dari luka tusukan
Ø Tekanan darah, nadi, pernapasan ukur kembali lalu catat
Ø Timbang berat badan lalu dicatat
Ø Kirimkan darah ke laboratorium
2) Cara mengakhiri mesin HD
Ø Kembalikan tekanan negatif, tekanan positif, ke posisi nol
Ø Sesudah darah kembali ke sirkulasi sistemik cabut selang dialisat
lalu kembalikan ke Hansen connector
Ø Kembalikan tubing dialisat pekat pada konektornya
Ø Mesin ke posisi rinse, lalu berikan cairan desifektan (hipoclhoride
pekat) sebanyak 250 cc, atau cairan formalin 3% sebanyak 250 cc
Ø Formalin dibiarkan selama 1-2 x 24 jam, baru mesin dirinsekan kembali.
DAFTAR
PUSTAKA
Smeltzer,
S.C. & Bare, B.G. Brunner and Suddarth’s textbook of medical–
surgical
nursing. 8th Edition. Alih bahasa : Waluyo, A. Jakarta: EGC; 2000
Doengoes,
M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. Nursing care plans:
Guidelines
for planning and documenting patients care. Alih bahasa:Kariasa,I.M. Jakarta:
EGC; 2000
Rindiastuti, Yuyun. 2006. Deteksi Dini Dan Pencegahan
Penyakit Gagal Ginjal Kronik
Baradero, M. 2008. Seri Asuhan
Keperawatan Klien Gangguan Ginjal. Jakarta : EGC
Long, B.C.
2001. Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses Keperawatan).
Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan.
Price, Sylvia
dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit edisi:6. Jakarta : EGC.
Reeves, C.S, Roux, G, lockhart.
2001. Medical- surgical Nursing. Jakarta : Salemba Medika.
Smeltzer, S
dan Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Sundarth. Edisi 8. Jakarta : EGC.
Suyono, Slamet. 2001. Buku
Ajar ilmu Penyalit Dalam. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
Sukandar, Enday. 2006. Gagal
Ginjal dan Panduan Dialisis. Bandung : PPI FK UNPAD
wah pasti banyak yang terbantu dengan adanya Laporan pendahuluan CKD ini ya mbak ,mantab n komplit banget
BalasHapus